Minggu, Desember 28, 2008

RO Fanfic 13

Sharlean memasuki menara tempat ia berubah menjadi Wizard. Menara itu telah terbakar, meskipun masih ada beberapa bagian yang masih selamat. Ia melihat Hansen termenung di salah satu sisi ruangan. "Tak bisakah kita berangkat ke Niflheim sekarang juga?" kata Carish. Sharlean menggelengkan kepalanya. "Belum. Kita harus menunggunya," kata Sharlean sambil menatap Hansen. Carish mengangguk. Ia membuka pintu menara dan menatap keadaan kota yang hancur berantakan akibat pertempuran yang baru saja terjadi. "Bagaimana dengan Jarred?" tanya Carish dengan wajah kuatir. "Kurasa dia sudah menuju Niflheim," jawab Sharlean.

Sementara itu, Hansen berdiri dan mengangguk pada Sharlean. Mereka segera mengikutinya meninggalkan menara. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," jawab Sharlean. Ia berjalan menuruni tangga baru di depan menara dan terus menuju gerbang selatan Geffen.

***

Cyriel sedang berjalan mengelilingi kota. Kota Aldebaran tampak begitu tenang di sore hari. Lampu-lampu jalan di seluruh bagian kota mulai dinyalakan. "Kurasa akan kulanjutkan besok saja," pikir Cyriel. Ia menuju ke sebuah penginapan dan memesan kamar untuk bermalam. Setelah itu, ia memutuskan untuk melihat keadaan sekitar kota. Kota Aldebaran dihuni oleh penduduk yang cukup banyak. Ia telah mendengar dari Jarred bahwa ia harus bertemu dengan seorang instruktur di rumah di sebelah barat daya kota. Kota itu cukup luas sehingga cukup sulit menemukan rumah yang dimaksudkan oleh Jarred. Cyriel duduk di bawah sebuah pohon sambil mengeluarkan barang dagangannya.

Saat itu, seorang Blacksmith pria mendatanginya. "Boleh aku ikut berjualan di sini?" tanyanya. Cyriel mengangguk. Pria itu mengeluarkan sejumlah senjata yang terdiri dari pedang satu tangan, pedang dua tangan, kapak, dan beberapa tongkat sihir yang beraneka ragam. "Kau sering membuat senjata?" tanya Cyriel. "Nggak juga. Aku cuma menyukai pekerjaan yang membutuhkan tenaga," kata pria itu. "Perkenalkan, namaku Darlen, Blacksmith," katanya. "Cyriel, Merchant," balas Cyriel. Darlen duduk di sebelahnya sambil merapikan dagangannya. "Aku juga membuka jasa penempaan senjata," katanya tersenyum. Cyriel tak berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. "Apa kau dalam perjalanan?" tanya Darlen tiba-tiba. "Ya. Aku ke sini hanya untuk menjadi seorang Alchemist," kata Cyriel. " Perjalanan ke mana?" tanya Darlen. "Niflheim," jawab Cyriel singkat. "City of the Dead? Kau yakin mau ke tempat terkutuk itu?" tanya Darlen. "Ya. Aku tak punya pilihan lain. Ragnarok semakin dekat, dan aku harus menjadi lebih kuat sebelum hal itu terjadi," kata Cyriel. Ia tahu bahwa sudah banyak orang yang mengetahui tentang Ragnarok, jadi ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikannya. "Kau berniat ikut dalam perang Ragnarok?" tanya Darlen. "Yeah," jawab Cyriel.

"Ini untukmu," kata Darlen tiba-tiba. Ia memberikan sebuah kapak yang cukup besar pada Cyriel. "Jika kau sudah menjadi Alchemist, kau pasti akan membutuhkannya," katanya. Cyriel mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih," katanya.

Hari semakin gelap dan dingin. Bintang-bintang mulai terlihat di langit yang berwarna hitam kebiruan. "Aku harus kembali sekarang," kata Cyriel. "Baiklah, perlu kutemani?" tanya Darlen. "No, thanks," katanya sambil tertawa. "Apa besok kau akan kembali ke sini?" tanya Darlen. "Mungkin. Tapi aku harus mengikuti pelatihan Alchemist secepatnya, jadi mungkin aku akan ke sini setelah aku selesai," kata Cyriel. "Oke," jawab Darlen.

Cyriel bermimpi tentang suatu tmpat yang gelap. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tak memiliki daun dan hanya terdapat beberapa rumah di tempat itu. "Niflheim...," pikirnya. Kota itu tampak suram. Tak sedikitpun cahaya matahari yang terlihat di tempat itu. Ia melihat beberapa makhluk berkeliaran di sekitar kota dan menyerang makhluk yang memasuki kota tanpa pandang bulu. Cyriel terdiam sejenak saat ia melihat dua orang yang sedang berjalan sambil menghabisi monster-monster di sekelilingnya. Ia mengenali kedua sosok itu. Yang pertama, seseorang yag dulu pernah menghajarnya...Jade. Hanya saja ia memakai kostum Crusader, bukan Swordman. Di sebelahnya, berdirilah Cherlia yang sudah menjadi seorang Priest. Ia dengan mudah menggunakan sihir Heal nya untuk menghabisi musuh-musuh yang berusaha menyerang.

Saat Cyriel membuka mata, matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Ia dapat melihat cahaya yang terpancar dari luar jendela kamarnya. "Saatnya pergi," katanya pada diri sendiri.

Rabu, Desember 17, 2008

RO Fanfic 12

Chapter 5: "Lord of Vermillion"

Sharlean berusaha menghindari serangan dari Arsean. Ia terus menggunakan sihir Meteor Storm miliknya, namun Arsean terus berhasil menghindarinya. "Coin Fling!" teriak Arsean sambil melemparkan sebuah koin yang telah diberi unsur sihir. Koin itu tepat mengenai perut Sharlean dan membuat kekuatan pertahanannya semakin rendah. Sharlean berusaha tidak memikirkannya dan terus mendekati Arsean sambil menggunakan sihir Thunder Storm dan Meteor Storm berkali-kali dengan harapan bahwa Arsean akan terkecoh oleh ledakan yang bertubi-tubi. Ia sudah cukup dekat. Ia dapat melihat Arsean di dalam asap sisa ledakan. Sharlean segera melakukan gerakan cepat dan mengarahkan tongkatnya pada Arsean. Tiba-tiba, Arsean berbalik ke arahnya dan menekan pelatuk pistolnya. "Disarm," katanya. Sebuah peluru kekuningan meluncur dari laras pistolnya dan mengenai tongkat yang sedang digenggam oleh Sharlean. Tekanan yang dihasilkan peluru itu sangat besar sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya.

"Usahamu sia-sia," kata Arsean sambil tersenyum licik. Sharlean menatap sebuah luka di tangannya akibat tergores saat peluru itu mengenai tongkatnya. Carish menyentakkan tongkatnya ke tanah dan menciptakan bebatuan di tanah di bawah kaki Arsean. Arsean terkena pukulan dari tanah beberapa kali, membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan dan memberi kesempatan bagi Hansen untuk melesat dan memukul perut Arsean beberapa kali. Arsean tampak kesakitan dan marah. "Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah ya?" katanya sambil membidikkan salah satu pistolnya ke arah Hansen. "Piercing Shot!"

Terdengar suara desingan peluru yang menembus tubuh Hansen dan membuatnya terjatuh berlutut. Peluru itu berhasil mengenai bahu kirinya dan membuat lubang yang cukup besar. Darah terus menetes dari lukanya, tapi ia berusaha untuk berdiri. "Bodoh," kata Arsean sambil berjalan mendekati Carish dan Hansen. "Kalian akan merasakan penderitaan lebih banyak lagi...Desperado!" katanya. Ia memutar kedua pistolnya beberapa kali dan selama itu, ia terus menekan pelatuknya berkali-kali sehingga bberapa peluru meluncur ke daerah sekitarnya. Carish telah berusaha sekuat tenaga untuk menghindari tembakannya, namun Arsean terlalu cepat baginya. Peluru-peluru yang menyebar berhasil melukai Carish dan Hansen. Hansen berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh ke tanah. Ia terus menggumamkan sesuatu, disusul dengan munculnya beberapa spirit yang tampak seperti benda bulat yang mlayang di sekeliling tubuhnya. "Kita akan lihat...siapakah yang bodoh...Finger Offensive!!" teriaknya sambil berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya. Lima buah spirit segera meluncur tepat setelah ia mengarahkan jarinya pada Arsean. Kelima spirit itu meluncur lebih cepat dari peluru dan menghantam tubuh Arsean sebanyak lima kali berturut-turut. "Sharlean! Sekarang ambil tongkatmu!!" kata Hansen sambil memanggil lima spirit lainnya dan menggunakannya untuk menghantam Arsean sekali lagi. Sharlean yang sudah berhasil berdiri segera melompat ke arah tongkatnya dan mengambilnya. Setelah ia berhasil menyentuh tongkatnya, ia mengangkatnya tinggi-tinggi dan menutup matanya. Ia yakin bahwa Hansen dan Carish akan mampu untuk menahan Arsean selama ia berkonsentrasi.

"Vermillion...warna merah yang menunjukkan kehancuran...," pikirnya. Ia teringat pada perkataan instrukturnya: "Lord of Vermillion bukan hanya sekedar sihir, melainkan juga pengetahuan..."

"Pengetahuan...pengetahuan akan sihir akan membawa entah kehancuran atau kedamaian," kata Sharlean pada dirinya sendiri. Ia merasakan pengetahuannya masih kurang untuk mengerti segala hal di sekitarnya. "Aku...akan mencari sendiri arti dari Vermillion," kata Sharlean. Ia merasa jantungnya berdegup semakin cepat dan kekuatannya bergejolak. Namun yang ia rasakan bukanlah kemarahan, tapi keberanian. "Merah...merah adlah keberanian dalam diri masing-masing Wizard," pikir Sharlean. Ia tidak begitu yakin, tapi ia akan mencari tahu sendiri. "Sekarang, tunjukkan kekuatanmu...," kata Sharlean sambil membuka matanya perlahan dan menatap ke arah Arsean. Hansen tahu bahwa sudah waktunya bagi dirinya dan Carish untuk menyingkir. Carish segera berlari ke belakang dan Hansen berlari ke sebelah Sharlean. Sharlean membuka mulutnya sambil mengangkat tongkat sihirnya. "Lord of Vermillion!!"

Dua buah petir besar menyambar ke sekitar Arsean dan dilanjutkan dengan ledakan yang terjadi beberapa kali. Carish hanya bisa menatap ledakan yang tampak seperti meteor yang menghantam permukaan tanah berkali-kali. Ledakan itu terus berlanjut dan disusul dengan sambaran petir lain yang membuat tubuh Arsean tidak dapat keluar dari area ledakan. Sharlean menatap ledakan itu. Ia merasakan ada energi yang mengelilingi area ledakan, energi yang membuat kekuatan sihir berkumpul dan menciptakan ledakan berkali-kali lebih besar dari yang pernah dilakukannya.

Carish berjalan mendekati Sharlean. "Sihir bukanlah segalanya, kan? Perasaanmulah yang menciptakan sihir ini. Perasaanmu juga yang menghasilkan energi itu. Banyak hal yang tak dapat dijelaskan...dan itu lebih daripada sihir," katanya. "Maksudmu?" tanya Sharlean. Carish mengangkat bahunya. "Aneh...," kata Sharlean.

Tubuh Arsean berlumuran darah dari luka-lukanya. Ia terjatuh perlahan dan memutuskan untuk berhenti bertempur. "Kalian memang lebih hebat dari dugaanku," katanya tersenyum lemah. Sharlean tidak berkata apa-apa. Ia berjalan mendekati Arsean dan mengarahkan tongkatnya pada wajah Arsean. "Kau ingin membunuhku?" kata Arsean. "Silakan, kami para Valkyrie takkan mati hanya karena serangan yang dilakukan manusia," lanjutnya. "Katakanlah pada Odin bahwa kami akan menunggunya untuk bertempur di dalam pertempuran yang tak terhindarkan," kata Sharlean setelah beberapa saat ia terdiam. "Ragnarok...," gumam Carish.
Sharlean melangkah pergi meninggalkan Arsean yang masih merintih kesakitan.

***

"Ke mana kalian akan pergi sekarang?" tanya Hansen sambil menatap Sharlean. "Niflheim. Kami berjanji untuk bertemu dengan yang lain di tempat itu," jawab Sharlean. "Niflheim, City of the Dead," kata Hansen. Sharlean mengangguk. "Boleh aku ikut?" tanya Hansen tiba-tiba, "Aku juga ada sedikit urusan dengan Odin, jadi kurasa aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan Odin sendiri. Dan kurasa kalian akan mampu untuk melakukannya." Sharlean menatap Carish. Carish mengangguk. "Baiklah. Kurasa kami akan membutuhkanmu suatu saat nanti...you're a pretty good fighter," kata Sharlean. "Thanks," balas Hansen.

Sementara itu, seseorang sedang mengamati mereka dari dalam bayangan gelap. "Mereka akan berangkat ke Niflheim, huh? Kurasa sudah waktunya berangkat. Ya kan...Shera Mithel sang Stalker?" tanya seorang pemuda berambut spiky berwarna kecoklatan. Shera Mithel yang berada di belakangnya mengangguk dan tersenyum sambil menggenggam dagger miliknya. "Kurasa aku akan mendapat kesempatan untuk balas dendam pada pria yang telah membunuh partnerku...Argus Wintold sang Assassin," kata Shera. "Ya, kematian Argus harus dibalas. Dan kurasa kau adalah orang yang tepat untuk melakukannya, terutama karena kita berhasil bertemu dengan kekasih orang yang membunuh Argus," kata pria berambut coklat itu. "Ya. Carish, kau akan menjadi umpan terbaik untuk memancing Jarred sang Assassin," kata Shera sambil tertawa. "Sebentar lagi...," katanya.

Kamis, Desember 11, 2008

RO Fanfic 11

Sharlean memasuki sebuah arena pertempuran. Ia hanya diizinkan untuk menghabisi semua monster dengan menggunakan sihirnya. Sang penyihir senior yang tampak berwibawa mengangguk saat Sharlean menatap ke arahnya. "Mulai," katanya lantang. Sharlean menggenggam erat tongkat sihirnya yang terbuat dari kayu oak yang memiliki pegangan yang telah dihaluskan. Perlahan-lahan, puluhan monster dengan tubuh ditutupi es mendekatinya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan...," kata sang penyihir senior.

"Es...," kata Sharlean mencoba mengingat-ingat pelajarannya di Midgard Academy. Ia teringat kepada pesan Ardelle saat ia pertama kali menggunakan sihir, "Saat kau melawan musuh yang lebih kuat darimu, carilah kelemahannya. Tak ada satu makhluk pun yang tak memiliki kelemahan. Bahkan setan Baphomet pun memiliki titik lemah." Sharlean tak ingin membayangkan bertemu dengan Baphomet sang iblis, namun ia terus mengingat perkataan Ardelle. "Es memiliki unsur air. Air sangat lemah kepada petir yang memiliki unsur yang 180 derajat berlawanan...," katanya pada diri sendiri. Monster bertubuh es itu semakin mendekat dan mengangkat tangannya untuk memukul Sharlean. "Lightning Bolt!!" katanya. Kilatan petir menyambar tubuh sang monster es dan membuatnya terdiam selama beberapa saat. "Thunder Storm!!" katanya lagi sambil mengeluarkan sihir untuk menghabisi monster itu. Beberapa monster dengan unsur yang berbeda terus berdatangan. Sharlean segera menggunakan sihir api Fire Bolt untuk monster tanaman karena tubuh tanaman sangat lemah terhadap api yang membara.

Sharlean menatap sang penyihir senior yang menjadi instrukturnya. Ia sedang mengarahkan tangan kepada Sharlean dan menggumamkan sesuatu, "Fire Ball."

Sharlean segera mengangkat tongkatnya dan berkonsentrasi kepada bola api yang mengarah padanya. "Safety Wall!" katanya. Seberkas cahaya menghalangi pandangannya dan mencegah bola api itu mengenai tubuhnya. "Soul Strike!" kata Sharlean menggunakan sihir telekinesis untuk membalas serangan instrukturnya.

"Kau lulus. Namun kau masih memerlukan banyak latihan," kata sang instruktur. Sharlean mengangguk. "Sekarang akan kuberitahu sesuatu yang sangat penting. Saat ini Geffen sedang diserang oleh pasukan dari arah utara. Aku ingin kau melindungi kota sebagai Wizard yang sesungguhnya. Saat kau berhasil, kau akan mengerti arti sesungguhnya dari menjadi seorang Wizard. Kau juga akan mengerti tentang Lord of Vermillion," kata sang instruktur. "Lord of Vermillion? Bukankah itu sihir terdahsyat yang dapat digunakan oleh seorang Wizard?" kata Sharlean. Sang instruktur menggeleng. "Lord of Vermillion bukanlah sekedar sihir, tetapi juga pengetahuan. Ingat bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terbatas," kata sang instruktur. "Aku tak mengerti," kata Sharlean. "Vermillion...warna merah yang melambangkan kehancuran. Kau akan mengerti saat kau bisa menggunakan sihir itu dengan baik," kata sang instruktur. "Tapi itu bukan sihir terkuat kan? Masih ada Heart of Oblivion milik Ardelle!" kata Sharlean. "Ya. Berbeda dengan Lord of Vermillion yang menggunakan warna kemerahan, Vermillion, untuk melambangkan kehancuran, Heart of Oblivion adalah kehancuran itu sendiri," kata sang instruktur. "Sekarang pergilah, pertahankan kota darinya," katanya lagi. "Nya?" kata Sharlean. "Odin," jawab sang instruktur.

Sebelum Sharlean dapat bertanya lebih lanjut, sang instruktur segera menyihir kostumnya menjadi seorang Wizard dan segera mengajaknya keluar. Ia memutuskan untuk tidak bertanya tentang Odin.

Ia melihat Hansen sedang bertempur dengan beberapa ekor monster yang tampak cukup kuat. "Hydra," kata sang instruktur. "Aku akan membantunya!" kata Sharlean. Ia berlari menuju monster Hydra yang sedang dilawan oleh Hansen dan menyerangnya dengan menggunakan Lightning Bolt. Kemudian, ia mengarahkan tongkatnya sekali lagi dan berkonsentrasi. "Jupitel Thunder!" katanya. Sebuah sihir yang tampak seperti bola energi listrik mengenai tubuh Hydra dan mendorongnya sambil menaymbar dengan menggunakan unsur petir. "Bagus," kata Hansen sambil berlari mendekati Hydra. Ia segera melayangkan sebuah pukulan terfokus ke arah Hydra dan mengenai bagian perutnya. "Ashura Strike!!"

Sang Hydra pun terjatuh dan tersungkur di tanah. Hansen segera menuju ke arah Hydra lainnya. Sharlean juga mengikutinya dan terus menggunakan Jupitel Thunder untuk menyerang Hydra yang mendekat. "Kalau begini terus, takkan ada habisnya!!" kata Hansen. "Minggir! Meteor Storm!!" teriak Sharlean. Beberapa bola api yang tampak seperti meteor berjatuhan dari langit dan meledakkan beberapa Hydra yang berada di sekitar mereka. "Wow...," kata Hansen takjub. Hansen segera mengambil inisiatif untuk memukul Hydra yang sedang terdiam selama tiga kali dan dilanjutkan dengan empat pukulan lainnya. Kemudian, Hansen segera memfokuskan serangan pada tangannya. Tubuhnya dikelilingi oleh energi yang terus meningkat. "Way of the Dragon!" katanya sambil menggunakan pukulan keras yang membuat Hydra itu terpukul mundur dan terpelanting ke tanah.

"Kita harus habisi pemimpinnya," kata Hansen. "Tapi...kita takkan bisa menghadapi Odin!!" kata Sharlean. "Pikirkanlah baik-baik...tak mungkin Odin menyerang sendiri ke tempat ini. Daripada ke sini, ia lebih baik menyerang tempat lain yang lebih berpengaruh," kata Hansen. "Ya, seperti Prontera, misalnya...," kata Sharlean.

Mereka melihat seserang yang berpakaian Gunslinger mendekati mereka sambil tersenyum puas. Orang itu bukan dari Geffen, pikir Sharlean. "Valkyrie," kata Hansen. Sang Gunslinger tertawa. "Odin mengirimkan Valkyrie-nya untuk menghadapi kami??" kata Hansen. Sang Gunslinger terus menatap mereka. "Kalian bukanlah lawan yang sebanding bagi Odin sang penguasa Valhalla dan Asgard," kata sang Gunslinger. Ia mengarahkan kedua pistolnya kepaa Sharlean dan menembaknya berkali-kali. "Safety Wall!!" kata Sharlean. Ia berhasil menahan beberapa serangan berikutnya, namun serangan pertamanya berhasil mengenai tubuh Sharlean dan menyebabkan luka yang cukup dalam. Hansen segera berlari ke arah sang Gunslinger dan memukulnya, namun serangannya berhasil dihindari dan ia terkena tembakan sang Gunslinger. "Kau lumayan...siapa namamu?" kata sang Gunslinger. "Hansen. Kau sendiri?" tanya Hansen. "Arsean sang Gunslinger," jawabnya. "Bagus, setelah tahu namamu, aku dapat menghabisimu tanpa keraguan!!" kata Hansen. "Seorang manusia ingin mengalahkan Valkyrie? Jangan mimpi...," katanya. Ia segera menembak lengan Hansen yang sedang berlari ke arahnya.

Sharlean menahan rasa sakit di bahu kirinya. Ia berusaha berdiri dan menggunakan tongkatnya untuk membantunya berjalan. Ia melihat Arsean mengarahkan pistolnya ke wajahnya. "Sekarang, matilah!" katanya. Seketika itu, Sharlean merasakan tanah yang diinjaknya membeku dan berubah menjadi permukaan es. Tanpa pikir panjang, Sharlean segera menggunakan sihir Water Ball, sihir yang menyerap kekuatan air dan es untuk menghasilkan tekanan, kepada Arsean yang mengakibatkan beberapa bola energi air menghajar tubuhnya sehingga pistolnya terjatuh. "Siapa yang...?" kata Sharlean. Ia melihat Carish sedang berdiri di belakangnya, sudah memakai kostum seorang Sage. "Aku mendengar bahwa Geffen diserang oleh pasukan Odin, jadi kurasa aku harus ke sini untuk membantu," kata Carish sambil tersenyum. Sharlean menghela napas. "Tumben kau bisa berinisiatif...," katanya sambil tersenyum jahil. Carish melihat Arsean telah mengambil pistolnya dan mengarahkannya kepada Sharlean. "Awas!! Earth Spike!" teriaknya. Sebongkah batu berbentuk seperti stalaktit muncul dari dalam tanah dan mengenai Arsean. Ia segera melompat mundur dan terus menembak. "Safety Wall!!" kata Sharlean menggunakan sihir pelindungnya. "Kalian semua akan kuhabisi...atas perintah Odin!!" kata Arsean dengan wajah marah.

Jumat, Desember 05, 2008

RO Special Images

Eh, gw mo coba tampilin beberapa character dari cerita RO Fanfic gw nih. Emang gak gitu bagus-bagus amat sih, tapi paling gak lumayan lah ada gambarnya sedikit sekalian biar nggak bosen ngeliatin tulisan mulu...^^ Nih...Gw tampilin character yang udah muncul dulu aja yah...dari smua yang di sini, masih ada 1 hero lagi yang bakal tampil...sabar dulu. Sekedar info, gmbar2 di bawah ini tuh smua character utama yang udah jadi Job 3 yah, jadi jangan bingung kalo liat koq kayaknya aneh gtu...These are JOB 3...^^

Jade:





Cherlia:




Jarred:




Carish:




Sharlean:




Cyriel:




Hansen:



Darlen:



Nah, paling gak sekarang udah bisa dibayangin character nya kurang lbih kyk apa...hehehe. Jadi kan lebih terasa ceritanya...Btw, ksh komentar donk, sepi nih gak ada comment sama skali...^^.

N.B. Buat S, C, n D:
Gw bikin char cape nih, jgn protes soal hair style n hair colornya dulu yee...hahaha...lol.

RO Fanfic 10

Cherlia berjalan menuju altar di tengah gereja. Seorang biarawan wanita berdiri di depan meja altar. Wanita itu jangkung dan terlihat cukup tua. Ia memegang sebuah kalung Rosary yang berwarna kebiruan. "Apakah kau siap?" tanya wanita biarawan itu. Cherlia mengangguk. Ia mengepalkan tangannya yang berkeringat. "Aku siap...," katanya. Cherlia mengikuti biarawan itu menuju sebuah pintu gerbang besar. "Di balik pintu ini menanti sebuah cobaan yang harus kau lalui," kata sang biarawan. Cherlia mendorong pintu itu perlahan-lahan dan melihat sebuah daerah yang gelap di balik pintu. "Tempat apa ini?" tanyanya sambil melihat ke belakang. Namun, tak ada yang menjawab. Sang biarawan telah menghilang bersama dengan bangunan gerejanya. Cherlia menghela napas. "Yah, no turning back...," katanya pada diri sendiri.

Ia berjalan melalui hutan yang gelap yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang entah apa namanya. Ia terus melihat sekeliling berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mengikutinya. Beberapa lama ia berjalan, ia melihat beberap makhluk yang berbentuk seperti mayat hidup. "Undead," pikirnya. Ia segera mendekati salah satu makhluk itu dan mengarahkan kedua telapak tangannya pada mereka. "Holy Light!" katanya. Beberapa makhluk sejenis lainnya mendekati Cherlia secara perlahan. "Signum Crucis!!" katanya, menggunakan sihir suci untuk mengurangi kemampuan pertahanan fisik sang monster. "Pneuma!" katanya, menggunakan sihir kepada dirinya sendiri. Ia merasakan kemampuannya meningkat pesat. "Holy Light!!" katanya lagi sambil mengarahkan tangan kepada monster di hadapannya. Ia terus berjalan sambil menggunakan sihir Ruwach untuk menghajar makhluk-makhluk di sekitarnya. Namun, ia mulai menyadari bahwa tak ada gunanya terus menghabisi mereka karena mereka akan terus berdatangan. "Increase Agility!!" katanya. Kakinya terasa begitu ringan dan ia dapat bergerak lebih cepat. Cherlia segera berlari menuju gerbang hitam yang berada beberapa meter di depannya dan segera melompat memasuki sebuah portal yang tampak seperti Warp Portal miliknya.

Perlahan-lahan, Cherlia membuka kelopak matanya. Ia dikelilingi oleh beberapa makhluk yang tampak transparan dan keputihan. "Di mana ini?" katanya. "Alam kematian," kata salah satu roh di sampingnya. "Apa kau ingin kembali...? Kau tak perlu menderita...," kata roh lainnya. "Bukan urusanmu," kata Cherlia. "Jika kau ingin kembali, gunakanlah ini," kata salah satu roh lainnya sambil meletakkan sebuah Holy Water di sebelah Cherlia. "Air suci ini akan menyucikan semua kejahatan di sekitarmu. Kau tak perlu melakukan ini sendirian, bukan?" katanya. "Diam...," kata Cherlia. Ia berusaha untuk tak mendengar perkataan roh-roh di sekitarnya. "Kalian hanyalah arwah orang mati...," kata Cherlia. "Bukankah kau ingin hidup...? Bukankah kau tak perlu penderitaan seperti ini...?" tanya roh di sebelah kirinya. "Ya, aku ingin hidup, tapi bukan berarti aku harus menghindari penderitaan...," kata Cherlia. Ia mengembalikan Holy Water di sebelahnya. "Aku tak bisa menggunakan ini," katanya. "Kau ingin terus bersama teman-temanmu, bukan? Ataukah kau lebih memilih mengambil jalan kematian seperti yang dilakukan Ardelle...?" kata sang roh. "Aku ingin bersama teman-temanku, tapi jika aku harus berkorban bagi mereka, aku akan melakukannya. Aku yakin Ardelle pasti melakukan semua ini demi kami semua!" kata Cherlia. Sebuah cahaya memancar dari dirinya dan sesaat kemudian, ia menyadari bahwa ia telah kembali ke depan altar tempat sang biarawan berdiri.

"Cherlia, anakku, apa kau yakin kau dapat menempuh jalan yang kau pilih ini?" tanya sang biarawan wanita. Cherlia mengangguk pasti. "Baiklah, aku dapat melihatnya di hatimu. Kau layak untuk menerima pemberkatn sebagai seorang Priest yang sesungguhnya. Dengan ini, kau harus bersumpah bahwa kau akan mmbantu sesama dalam kesulitan apapun," kata sang biarawan. "Ya, aku berjanji," kata Cherlia. Sang biarawan memberikan sebuah buku Bible berwarna hitam kebiruan ke tangan Cherlia. "May God bless you," katanya sambil meletakkan tanganya di kepala Cherlia. Cherlia memejamkan matanya dan merasakan kekuatannya meluap. Kekuatan suci di dalam dirinya meluap melebihi apapun yang penah ia rasakan.

Cherlia merasakan tubuhnya terbalut oleh pakaian seorang Priest yang berwarna ungu tua. Di bagian tengah bajunya terdapat sebuah simbol salib tipis yang begitu elegan. Ia merasakan rok panjang menutupi kakinya hingga hampir menyentuh lantai. Ia menggenggam Bible miliknya dan memberi hormat kepada sang biarawan wanita. "Bawalah berkat kepada sesamamu," kata sang biarawan sebelum Cherlia meninggalkan gereja. Ia melihat Jade berdiri di depan pintu gerbang gereja sambil mengenakan kostum Crusader-nya. Cherlia hanya tersenyum kepadanya. "Siap berangkat?" tanya Jade. "Ke?" tanya Cherlia. "Niflheim, kota orang mati. Jarred akan menunggu kita di sana," kata Jade. Cherlia mengangguk. "Niflheim dalah kota kegelapan. Kurasa kita takkan mendapat banyak kesulitan dengan kemampuan kita yang sekarang," kata Jade. "Yeah," jawab Cherlia.

***

Sementara itu, Sharlean sedang memasuki kota Geffen. Ia teringat kembali kata-kata Jarred sebelum memasuki kota. "Kami akan menuju ke Juno dan membantu Carish menjadi seorang Sage. Setelah kau selesai, pergilah ke Niflheim. Kurasa Jade dan Cherlia akan menunggumu di sana," kata Jarred. Sekarang, Sharlean benar-benar sendirian. Ia merasa cukup asing berada di kota ini meskipun kota Geffen adalah kota para penyihir yang cukup dikenal. Ia melihat menara yang cukup tinggi di tengah kota Geffen yang membuatnya teringat dengan menara di Midgard Academy. "Saatnya berangkat...," katanya pada diri sendiri.

Ia berdiri di depan menara Geffen dan membuka pintunya perlahan-lahan. Di dalamnya, bukan hanya para Mage yang menunggu, tetapi juga para Class lainnya seperti Blacksmith, Whitesmith, bahkan Crusader dan masih banyak lagi. Entah kenapa, hal ini disebabkan oleh beberapa orang pedagang yang lebih memilih berdagang di dalam menara. Sharlean tiba-tiba merasakan seseorang merogoh kantong celananya. "Maling!!" katanya sambil berusaha menangkap tangan orang itu. Ia gagal menangkapnya dan ia hanya melihat Thief itu berlari menuju lantai atas. "Hey!! Tunggu! Jangan lari!!" kata Sharlean. Ia mengejar sang Thief menuju lantai dua dan berusaha melihat sekeliling. Sang Thief sedang tersenyum ke arahnya sambil mengeluarkan Dagger miliknya. "Kau mau cari masalah denganku?" kata sang Thief. "Ya, siapa takut!" kata Sharlean sambil mengangkat tongkatnya. "Thunder Storm!!" teriaknya. Sambaran kilat gagal mengenai sang Thief, namun seseorang berhasil menahan gerakan sang Thief. Sharlean melihat seorang Monk yang sedang menggenggam bahu sang Thief. Monk itu segera memukul perut sang Thief dan membuatny terjatuh ke lantai. "Beres!" katanya. "Terima kasih," kata Sharlean. "Sama-sama. Kau harus lebih berhati-hati di daerah sini. Belakangan ini semakin banyak Thief dan Stalker jahat yang berkeliaran," kata sang Monk. "Ya, aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku Sharlean. Kau?" katanya. Sang Monk membuka kerudung yang menutupi kepalanya. "Hansen. Senang bertemu denganmu," katanya.

Hansen menawarkan diri untuk membantu Sharlean mencapai lantai atas. Menurutnya, sangat tidak aman menaiki menara sendirian pada saat-saat seperti itu. "Dulu Geffen tidak seperti ini. Entah kenapa, para Thief mulai mencari mangsa di daerah ini. Memang tidak semua Thief bermaksud jahat, tapi kita harus tetap waspada," kata Hansen. Sharlean tertawa melihat Hansen berbicara dengan nada sangat serius seperti sedang membicarakan rahasia negara. "Yah, pokoknya hati-hati," katanya. "Apa kau dari Midgard Academy?" tanya Hansen tiba-tiba. Sharlean mengangguk dengan wajah penasaran. "Dulu aku juga belajar di tempat itu, tapi aku pindah ke sini tepat satu hari setelah menjadi Monk," kata Hansen. Mereka terus berjalan melalui banyak anak tangga. "Midgard Academy sudah tidak ada lagi," kata Sharlean dengan nada sedih. Hansen menatapnya. Sharlean yang segera mengerti maksud tatapannya itu segera menjelaskan tentang apa yang terjadi di Prontera beberapa hari yang lalu. "Ardelle mengorbankan dirinya dengn menggunakan sihir terbesar," katanya. "Apa dia masih hidup?" tanya Hansen. "Aku tidak tahu. Kemungkinan besar ia tewas dalam ledakan itu," kata Sharlean dengan wajah sedih.

"Nah, kita sudah sampai di lantai paling atas. Kau siap?" tanya Hansen. "Ya, terima kasih," kata Sharlean. "Oke, aku akan menunggu di sini. Cepat temui petugas Wizard di sana," kata Hansen sambil menunjuk seorang petugas yang tampak berwibawa. Sharlean mengangguk dan tersenyum.

Sabtu, November 29, 2008

RO Fanfic 09

Chapter 4: "Second Classes"

"Menyelesaikan tugasnya!?" kata Jade dengan nada meninggi. Jarred menatapnya dengan tatapan dingin. "Apakah ia harus mati demi menyelesaikan tugasnya!?" tanya Jade lagi. Jade merasa darahnya memanas dan amarahnya meningkat. "Jade," kata Cherlia sambil menarik lengan kiri Jade, namun Jade tak memedulikannya. "Hanya itukah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Prontera!? Toh pada akhirnya kota itu hancur juga!" kata Jade. Jade tetap tidak mengacuhkan Cherlia yang berusaha menenangkannya. "Jade!!" teriak Sharlean yang kesal melihatnya. Ia segera berjalan ke arahnya dan menamparnya. "Apa kau nggak bisa tenang sedikit!? Kita semua nggak mau kehilangan Ardelle, tapi tak ada pilihan lain!!" kata Sharlean. Jade terdiam menatap Sharlean, kemudian menatap Cherlia. "Sorry...," katanya. "Akhirnya dia tenang juga...," kata Cherlia. Jarred menggenggam tangan Carish yang masih termenung menatap Prontera yang hancur oleh ledakan. "Kita harus pergi," kata Jarred. "Ke mana?" tanya Cyriel yang sudah ingin mengeluarkan suara tapi tidak mendapat kesempatan karena keributan tadi. "Ke tempat untuk menerima perubahan...," kata Jarred. "Perubahan?" tanya Sharlean. "Second Class Job...," kata Jarred. Jade menatapnya terkejut.

"Jade dan Cherlia, kalian hanya perlu menuju ke bagian belakang Prontera. Di sana, istana Prontera belum hancur total. Di sana akan ada kepala Crusader dan pendeta yang akan membantu kalian berdua menjadi Crusader dan Priest. Untuk yang lainnya, aku akan menemani kalian menuju tempat perubahan masing-masing. Pertama-tama, kita akan ke Geffen untuk membantu Sharlean yang akan menjadi Wizard," kata Jarred. "Apa kami sudah layak?" tanya Sharlean. "Kurasa begitu. Selamatnya kalian dari kehancuran di Prontera membuktikan bahwa kalianlah yang akan mengubah sejarah Rune Midgard," kata Jarred. "Tapi semua bisa saja selamat dari ledakan itu," kata Jade. Jarred menggeleng. "Ardelle melakukan ini demi kalian semua...para prajurit dari Rune Midgard," kata Jarred. "Yah, whatever. Jadi sekarang kita harus berpisah?" kata Jade. Jarred mengangguk. "Setelah semua berhasil, pergilah ke Niflheim atau yang sering disebut dengan kota orang mati. Kita akan bertemu kembali di sana," kata Jarred.

***

Jade berjalan bersama Cherlia menuju reruntuhan kota Prontera. Namun kali ini mereka tidak memasuki kota. Mereka berjalan mengitari kota untuk mencapai bagian belakang dari istana Prontera. Sesampainya di sana, mereka bertemu dengan seorang Crusader dan seorang Priest. "Jarred sudah memberitahu kami tentang kalian. Jade sang Swordman, ikuti aku menuju ruang pelatihan istana. Sementara kau, Cherlia sang Acolyte. Ikuti Priest di hadapanmu menuju gereja dan ia akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan selanjutnya.

Ruang pelatihan tampak begitu luas, tapi suram. Jade segera melangkah menuju tengah ruangan. "Bersiaplah, Jade," kata sang Crusader. Jade yang mengetahui bahwa ia harus melalui tes fisik segera mengeluarkan pedangnya dan bersiap untuk menghadapi apapun lawannya. Pintu jeruji yang terdapat di sekitar ruangan itu terbuka dan beberapa prajurit berlarian keluar sambil menggenggam pedang mereka. Kemudian, pintu di belakang Jade terkunci, menandakan bahwa ujian telah dimulai. Sang Crusader berdiri di dalam salah satu jeruji yang sudah kembali tertutup, memegang sebuah pedang tipis berwarna keperakan. "Kau harus membuka jeruji tempat aku berlindung dengan menekan tuas di ujung ruangan. Tapi, kau harus bisa melakukannya tanpa melukai para penyerangmu. Kau hanya diizinkan untuk menahan serangan mereka," kata sang Crusader. "Tanpa menyerang satupun!?" kata Jade. "Ya. Satu serangan dan kau dianggap gagal," jawab sang Crusader.

Jade bersusah payah menghindari beberapa serangan yang diarahkan kepadanya. Jika situasi tak memungkinkannya untuk menghindar, ia segera menahan serangan mereka menggunakan pedangnya. Ia terus mengingat-ingat bahwa ia tak boleh melakukan serangan. "Kau harus tenang, Jade," kata sang Crusader. "Pusatkan pikiranmu," katanya. Jade merasakan beberapa pedang menggores tubuhnya. Tak mungkin aku dapat menahan semuanya sekaligus, pikir Jade. Ia berusaha menahan beberapa serangan yang berasal dari depan, namun teteap saja ia tak sanggup menahan semuanya. "Endure!!" teriaknya. Tubuhnya terasa lebih kuat. Ia memfokuskan kekuatannya pada otot-otot tubuhnya agar ia lebih mampu menahan serangan fisik. Ia berlari menerobos kerumunan prajurit berpedang dan berusaha untuk menahan setiap serangan yang diarahkan padanya. Bunyi pedang yang keras terus terdengar seiring dengan melajunya Jade ke arah tuas di ujung ruangan. Tepat sebelum ia menyentuh tuas, ia memukul pedang para prajurit di sekitarnya untuk membuat mereka melangkah mundur. Kemudian, dengn sekuat tenaga ia meraih tuas dan menariknya. Jeruji besi tempat sang Crusader berlinung pelahan-lahan terbuka. Namun, sebelum Jade dapat sampai ke sana, sebuah pedang berhasil menebas punggungnya dan membuatnya terjatuh. Ia kembali berdiri, namun ia sempat terhuyung-huyung selama beberapa saat.

Ia berlari dengan sisa tenaganya sambil menahan serangan para prajurit di sekitarnya dengan mengibas-ngibaskan pedangnya dan segera berhenti di hadapan sang Crusader. Tak disangka, Crusader itu menggunakan pedang yang dipegangnya untuk menyerang Jade. Jade segera menahan serangan itu dan membalas dengan sebuah tebasan yang cukup kuat ke arah baju besi sang Crusader, membuat sang Crusader mundur beberapa langkah dan tersenyum.

"Kau memang sehebat dugaanku," katanya. Ia menyerahkan pedang tipis berwarna keperakan itu pada Jade dan menyuruhnya mengikutinya. "Kau telah layak, Jade," katanya setelah mereka kembali ke lobby istana Prontera. "Sekarang, tutup matamu," katanya lagi. Jade segera menutup matanya. Ia merasakan kekuatan yang besar menyelimuti tubuhnya dan beberapa saat kemudian, ia membuka mata dan melihat sebuah baju besi yang cukup kuat melindungi tubuhnya. "Saatnya kau pergi, Jade sang Crusader. Semua orang mengharapkan kedatanganmu," kata sang Crusader di hadapan Jade. Jade tak mempercayai penglihatannya. Ia berhasil mencapai Class impiannya, Crusader. "Pergilah...temui sahabatmu di gereja. Aku yakin ia akan sangat senang melihatmu," katanya lagi. "Baik. Terima kasih atas bantuannya," kata Jade. "Tidak. Akulah yang harus berterima kasih padamu. Dengan berubahnya kau menjadi seorang Crusader, hal itu menandakan bahwa perkataan Ardelle memang benar. Mungkin kalianlah yang akan mengubah dunia dan mengukir sejarah baru. Mungkin kalianlah ang mampu menyelamatkan dunia dari Ragnarok," kata sang Crusader. "Ragnarok tak bisa dihindari," kata Jade sambil menyarungkan pedang barunya. "Ya, tapi Ragnarok bisa dimenangkan," jawab sang Crusader. Jade tersenyum dan membungkukkan badannya. Setelah itu, ia keluar dari istana dan berjalan menuju gereja yang terletak tidak jauh dari istana. Baju Crusader-nya terasa lebih berat, tapi ia yakin bahwa ia akan segera terbiasa.

"Cherlia, aku datang," bisiknya pada diri sendiri.

Selasa, November 25, 2008

RO Fanfic 08

Suasana di dalam kota tampak begitu berbeda dari saat terakhir kali mereka melihatnya. Banyak bangunan yang sudah hancur dan banyak tubuh-tubuh monster dan para prajurit Prontera. Jade segera berlari menuju pintu gerbang Midgard Academy dan berlari masuk. Di sana, ia melihat Ardelle sedang bertempur dengan seekor monster berbentuk prajurit berbaju besi yang memegang perisai berbentuk salib. Ardelle memberi tanda kepada Jade untuk pergi saat ia melihat Jade dan kawan-kawannya mendekatinya. "Kalian takkan mampu melawannya!" teriak Ardelle. Namun, Jade tidak merasa bahwa ia harus meninggalkan Ardelle yang sedang bertempur. "Kami berenam, kami pasti bisa mengatasinya!" kata Jade. Pedangnya terangkat di atas kepalanya dan segera mengenai tubuh sang prajurit. Makhluk itu menatap ke arah Jade dan mulai mengibaskan perisainya untuk memukul Jade. Jade berusaha mnghindari setiap serangannya, namun gerakan makhluk itu terlalu cepat bagi seorang Swordman seperti dirinya. "Bash!!" teriak Jade sambil memukul tubuh makhluk itu. Serangannya tidak terlalu berpengaruh baginya. "Minggir!!" kata Ardelle. Jade segera melompat menjauh saat Ardelle membacakan mantra yang cukup panjang. Setelah beberapa saat, Ardelle mengangkat kedua tangannya dan menatap kepada makhluk itu. "Lord of Vermillion!!"

Seketika itu juga, sebuah benda yang mirip dengan bola api menghunjam tanah dan menyebabkan beberapa ledakan terjadi secara berturut-turut. Ledakan itu terus terjadi selama beberapa saat dan menyebabkan makhluk itu tidak dapat berpindah dari tempatnya berpijak. Sharlean yang menyadari bahwa tak ada gunanya lagi menyaksikan makhluk itu terkena ledakan-ledakan dari Lord of Vermillion segera berlari bersama Cyriel menuju sisi lain kota. "Kami akan menahan monster-monster yang datang dari arah lain!" kata Sharlean. Mereka berlari menerobos para prajurit yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk bertempur. "Kita harus ke arah mana?" tanya Cyriel. "Sebelah utara istana Prontera!" kata Sharlean. Sharlean segera menggunakan Fire Bolt dan Thunder Storm untuk menghabisi musuh yang menghalangi jalannya menuju istana Prontera.

Istana Prontera tampak sepi, berbeda dengan daerah lain di Prontera. Tampaknya semua penjaga istana sedang sibuk menahan serangan dari sebelah utara kota. Sharlean dan Cyriel segera berlari menembus lorong-lorong di sepanjang istana Prontera yang cukup besar. "Cyriel, apa menurutmu kita akan menang?" tanya Sharlean. "Entahlah, aku tak yakin," jawab Cyriel singkat. Saat mereka membuka pintu gerbang belakang istana, mereka dapat melihat bagian belakang istana telah dipenuhi dengan prajurit dan monster yang sedang bertempur. Tanpa pikir panjang, Sharlean segera berlari dan mengangkat tongkat sihirnya sambil berkonsentrasi. "Napalm Beat!!" teriaknya, mengeluarkan tenaga fisik dari tongkatnya untuk memukul seekor monster di hadapannya. Monster iu berbentuk seperti seekor kalajengking raksasa berkepala manusia. Ekornya tampak tajam dan beracun. Setelah menyadari keberadaan Sharlean dan Cyriel, monster itu segera mengarahkan ekornya ke arah mereka. Sharlean menyentuhkan tongkatnya ke tanah tepat sebelum ekor monster itu menusuknya. "Safety Wall!!"

Ekor monster itu tertahan tepat di depan wajah Sharlean seakan ada dinding sihir yang telah diciptakan. Monster itu berusaha menyerang sekali lagi, namun mantra Safety Wall masih bekerja dengan baik. Sekali lagi, Sharlean mengarahkan tangan kanannya pada sang kalajengking sambil berkonsentrasi. "Frost...Diver!!" teriaknya. Es-es yang berbentuk seperti tombak segera muncul dari tanah dan bergerak menuju monster itu. Monster itu segera membeku terkena Frost Diver yang terus menutupi tubuhnya. Cyriel yang tidak mau kalah segera mengeluarkan segenggam uang dari sakunya. "Mammonite!!!" ia berteriak. Koin-koin itu mengenai monster di hadapannya, tapi tampaknya monster itu tidak merasakan apa-apa. "Biar kuselesaikan...Fire Bolt!!!" teriak Sharlean. Panah api muncul dari udara dan menghunjam beberapa kali ke tubuh besar sang kalajengking dan membuatnya terjatuh.

Sementara itu, Carish sedang mengikuti Ardelle menuju menara bagian atas dari Midgard Academy. "Kurasa tak ada pilihan lain," kata Ardelle. Carish menatapnya dengan penuh simpati. Jarred juga mengikuti mereka, tapi ia tidak mengatakan apapun. Ardelle sang High Wizard terus melangkah menaiki tangga spiral menuju atap menara. Ia menggenggam tongkat sihirnya dengan erat dan masih berwajah serius. Mereka sampai di atap menara yang sangat tinggi. Carish segera berdiri di sebelah kanan Ardelle didampingi Jarred di dekatnya. "Jarred, saat aku melakukannya, kau harus membawa Carish sejauh mungkin dari tempat ini," kata Ardelle. Jarred mengangguk. "Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Carish. "Aku akan meminjam kekuatanmu untuk beberapa saat saja. Jika kekuatanku sudah mencukupi, aku akan melakukan hal yang seharusnya kulakukan," jawab Ardelle. Perlahan-lahan, Ardelle melepas genggamannya dari tongkat, namun tongkat itu tidak terjatuh, melainkan melayang perlahan di hadapan Ardelle. "Sihir penghancur tertinggi," kata Ardelle.

Jade, Sharlean, Cherlia, dan Cyriel telah berlari keluar Prontera setelah mengetahui dari Carish bahwa Ardelle akan menggunakan sihir penghancur untuk menyelesaikan pertempuran. Mereka menatap ke arah menara tertinggi di Prontera. "Kuharap mereka tak apa-apa," kata Cyriel.

Jarred telah siap membawa pergi Carish setelah Ardelle selesai membacakan mantra sihirnya. Dalam sekejap, Jarred menarik tubuh Carish tepat setelah Ardelle mengangguk kepadanya. Setelah itu, semua berlangsung begitu cepat. Jarred menggendong Carish dan melompat turun dari menara yang tinggi. Kemampuannya sebagai seorang Assassin memungkinkannya untuk melompat tanpa terluka. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ledakan yang sangat besar dari atap menara yang menyebabkan seluruh bangunan itu hancur perlahan-lahan. Ledakan terjadi berkali-kali dan semakin membesar ke seluruh penjuru kota. Jarred berhasil membawa kabur Carish tepat sebelum mereka mendengar Ardelle berteriak keras, "Heart of Oblivion!" dan mengakibatkan semua ledakan besar itu terjadi. Kehancuran memang tak bisa dihindari. Carish meneteskan air mata saat melihat ledakan yang terjadi. Ia membayangkan bahwa kemungkinan Ardelle dapat selamat sangatlah kecil. Ia mempererat pegangannya pada Jarred yng sedang membawanya keluar kota.

"Kenapa ia harus mengorbankan dirinya sendiri?" tanya Carish setelah ia dan Jarred bertemu dengan teman-temannya dan beberapa sisa prajurit dari Rune Midgard. "Ia...hanya menyelesaikan tugasnya," jawab Jarred dengan nada misterius.

Minggu, November 23, 2008

RO Fanfic 07

Malam itu, Jade tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bermalam di hutan yang gelap bukanlah hal yang menyenangkan, meskipun ia melakukannya bersama teman-temannya. Ia berdiri dan melihat sekitar. Cherlia sudah menikmati tidurnya, sementara itu ia melihat Jarred sedang duduk di dekat sebuah aliran sungai yang menuju ke tepi sungai tempat ia berbicara dengan Cherlia tadi pagi. Hanya saja, kali ini sungai itu tidak berada di Payon. Jarred sedang menerawang jauh ke arah pepohonan yang seakan tidak ada habisnya.

"Jarred," panggil Jade. Ia tidak begitu mengenal Jarred, namun ia berusaha untuk tidak canggung saat berbicara dengannya. Jarred menatapnya dengan tatapan kosong. "Sedang apa kau di situ?" tanya Jade. "Merenung...," kata Jarred, "tentang sesuatu yang seharusnya kulakukan." Jade tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Jarred, tapi ia tidak ingin membuat Jarred berpikiran bahwa ia ingin tahu urusan orang lain, maka ia memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. "Kudengar kau ingin menjadi Crusader...," kata Jarred memulai pembicaraan. Jade mengangguk. "Apa kau tahu tugas seorang Crusader yang sebenarnya?" tanya Jarred. Jade menggeleng. "Aku hanya mengetahui bahwa Crusader bertugas untuk melindungi orang lain. Tapi kurasa tugas seorang Crusader lebih dari itu...," kata Jade. Jarred tersenyum dan mengangguk. "Second Class Job bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai," kata Jarred. Second Class Job adalah sebutan untuk Class yang sudah cukup tinggi. "Seorang Crusader harus mengetahui apa yang harus ia lakukan sebagai seorang Second Class Job. Bukan hanya sekedar melindungi sesama, tapi memang benar katamu...lebih dari itu," kata Jarred. "You're full of mystery - kau penuh misteri, Jarred," kata Jade. Jarred tertawa kecil.

Jarred mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah pedang yang bermata pedang tipis tapi kuat. Leher pedang itu terbuat dari besi murni yang ditempa dengan cukup baik. "Flamberge, pedang yang sangat kuat, namun membutuhkan keberanian untuk menggunakannya. Genggamlah pedang ini," kata Jarred. Jade merasakan dinginnya pegangan pedang saat ia menyentuhnya. Pedang itu terasa berat dan sulit untuk digunakan. "Berat...," kata Jade. "Kau yakin ini pedang satu tangan?" tanya Jade. Jarred mengangguk. "Pedang itu adalah pedang yang hanya bisa digunakan oleh seseorang yang percaya pada dirinya sendiri lebih dari apapun," kata Jarred sambil mengambil pedang itu dari tangan Jade dan menyarungkannya kembali.

"Kenapa aku tak bisa menggunakannya?" tanya Jade. "Kemampuanmu belum cukup untuk memegang pedang ini. Hanya mereka yang memiliki keinginan untuk benar-benar menggunakannya demi diri mereka dan orang lain lah yang dapat menggunakannya. Intinya adalah...kemampuanmu masih jauh dari cukup untuk menjadi seorang Crusader yang dapat menggunakan pedang ini," kata Jarred. "Aku mengerti, aku akan berlatih agar menjadi lebih kuat," kata Jade. "Ingat, Jade, bukan hanya kekuatan fisik yang menentukan kuatnya seseorang," kata Jarred.

Jade kembali ke tendanya dan memejamkan mata. Ia bermimpi aneh malam itu. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian Crusader membawa pedang Flamberge ke arahnya.

"Kau lemah, Jade," kata laki-laki itu.

"Siapa kau?" tanya Jade.

"Dirimu yang lain," jawabnya.

Laki-laki itu mengarahkan Flamberge-nya ke arah Jade dan berjalan mendekatinya. "Apa kau akan melarikan diri, Jade?" tanyanya. Jade menggelengkan kepalanya. Ia memegang pedangnya dengan erat sambil bersiap menyerang ataupun bertahan. Crusader itu mengangkat pedangnya dan menebas dua kali membentuk salib putih di udara. "Holy Cross!" katanya. Tebasan itu mengenai Jade dan membuatnya jatuh. "Sudah kukatakan, kau lemah, Jade," kata laki-laki berpakaian Crusader itu. Jade menahan serangan berikutnya, tapi tenaganya terasa begitu besar sehingga tangannya terasa keram setelah menahan pedang laki-laki itu selama beberapa saat. Jade berusaha menghindar dan mengayunkan pedangnya ke perut laki-laki itu, namun sebelum ia berhasil melukainya, laki-laki itu menggunakan Holy Cross-nya sekali lagi yang membuat Jade berteriak kesakitan dan terbangun dari mimpinya yang aneh.

"Jade, Jade," panggil Cherlia yang sedang duduk di hadapannya.

Jade mengedip-ngedipkan matanya selama beberapa saat dan penglihatannya semakin jelas. Hari sudah pagi, ia dapat mengetahuinya dari sinar matahari yang cukup menyilaukan dari sebelah timur. "Mimpi...," katanya. Ia berdiri dan menatap Cherlia. "Kau tak apa-apa?" tanya Cherlia. "Ya, hanya mimpi buruk," kata Jade. Hanya mimpi buruk, kurasa, pikir Jade. Ia tetap tak bisa melupakan sosok Crusader yang dilihatnya. Crusader itu mengatakan bahwa ia adalah diri Jade yang lain, apakah itu berarti ia telah melihat dirinya sendiri di masa depan? Mustahil...pikir Jade. Ia berusaha melupakan sosok Crusader berpakaian tebal itu dan melanjutkan perjalanan. Jalan keluar dari hutan Payon sudah terlihat dan udara terasa lebih segar dari sebelumnya. Di hadapan mereka terhampat padang rumput yang hijau dan subur, menandakan mereka telah memasuki daerah sekitar hutan Prontera. "Jangan bengong!" kata Sharlean sambil menyikut pinggang Jade. "Eh...oh, ya," kata Jade. Cherlia berjalan mendahuluinya dan berhenti setelah beberapa saat. "Ada apa?" tanya Jade.

Cherlia menatap ke arahnya dengan pandangan cemas. "Apa kalian yakin ingin menuju ke Prontera?" tanya Cherlia. "Ya, memang kenapa?" tanya Jade. Cherlia menunjuk ke arah kota yang sudah tampak berbeda dari sebelumnya. Dinding kota telah runtuh dan beberapa monster tampak berkeliaran di sekitar pintu masuk Prontera. "Apa...yang terjadi?" kata Jade. "Tampaknya Odin mulai bergerak," kata Jarred. "Odin?" kata Jade. "Dewa dari Valhalla. Ia berencana untuk menghukum umat manusia secara pelahan sebelum ia melakukan serangan yang sebenarnya," jawab Jarred. "Kau tahu tentang hal ini!?" tanya Sharlean. Jarred mengangguk. Sementara itu, Cyriel sedang ternganga melihat kondisi kota Prontera yang tampak mengerikan. Banyak tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di depan gerbang masuk Prontera. "Kurasa masih ada harapan," kata Jade, "Midgard Academy takkan menyerah begitu saja. Kita harus masuk melalui dinding timur dan membantu bertempur!"

Jade segera berlari menuju dinding kota sebelah timur. Sesuai dugaannya, pintu sebelah timur masih aman untuk dilalui. Tak ada seekorpun monster yang terlihat kecuali Poring dan Lunatic, yang merupakan monster umum di daerah itu. "Ayo, kita akan ikut bertempur bersama Midgard Academy!!" kata Jade sambil menghunuskan pedangnya dan berlari masuk menuju Prontera diikuti dengan semua temannya.

Sabtu, November 22, 2008

RO Fanfic 06

Chapter 3: "Cyriel"

Jade sedang berjalan bersama Cherlia, Sharlean, dan Carish di sepanjang jalan kecil di kota Payon. Mereka cukup menikmati keadaan sekitar meskipun perang baru saja berakhir. Beberapa orang pedagang menjajakan barang dagangannya. Jade yang tampak tertarik dengan sebuah pedang yang bermata pedang berwarna kebiruan segera menanyakan harga pedang itu. "50.000 zeny, mahal amat," katanya. "Yah, memang begitu dari sananya," jawab si pedagang. Pedagang itu merupakan seorang gadis seusia mereka. Gadis itu berambut panjang berwarna kecoklatan. Raut wajahnya tampak begitu ceria.

"Cyriel!" panggil seorang pedagang lainnya. Pedagang, atau yang sering disebut sebagai Merchant, yang sedang berada di hadapan Jade segera berdiri dan menatap ke arah orang yang memanggilnya. Orang itu memberikan sebuah kode yang tidak begitu dimengerti oleh Jade. "Jadi, mau beli apa nggak?" tanya Cyriel sambil kembali menatap Jade dan yang lainnya. "Nggak jadi deh, terlalu mahal," kata Jade. "Pedang ini terbuat dari besi tempa terbaik lho. Kau takkan menemukannya di mana-mana selain di Payon," kata Cyriel. Jade tidak mengacuhkannya. "Baiklah, kuturunkan harganya menjadi 25.000 zeny," kata Cyriel. "Hmm...baiklah, tapi ini benar-benar pedang yang langka?" tanya Jade. "Yap," jawab Cyriel riang. Setelah menerima uang, Cyriel segera menutup tokonya dan pergi meninggalkan mereka. Beberapa saat kemudian, Jarred datang menghampiri mereka. "Kau membeli pedang baru?" tanyanya. "Ya, seharga 25.000 zeny. Cukup murah kan?" tanya Jade. Jarred memperhatikan pedang biru di tangan Jade dengan seksama. "Terlalu mahal untuk sebuah Blade biasa," komentarnya. "Tapi katanya ini pedang khusus," kata Jade. "Kurasa kau ditipu. Ini pedang biasa yang sering dijumpai di Prontera dengan harga kurang dari 5.000 zeny, kurasa...," kata Jarred. Jade ternganga. "Hah!!??" katanya. Ia segera memutuskan untuk mengejar Cyriel yang masih tampak berlari di belakang mereka. "Hey, kau!! Tunggu!!" teriak Jade. Ia segera berlari menerobos kerumunan orang banyak sambil berusaha menghindari tabrakan dengan orang lain.

Cyriel memilih rute yang sulit untuk diikuti. Ia berlari melalui jalan yang banyak tikungan dan banyak pedagang melintas di jalan itu sehingga Jade harus berhati-hati agar tidak merusak barang dagangan mereka. Jade segera melakukan lompatan ke atas salah satu atap rumah yang cukup rendah dan melanjutkan pengejaran. Jarred pun mengikutinya dari belakang. Tentu saja, seorang Assassin lebih ahli dalam urusan lompat-melompat, namun Jade tak ingin melepaskan Cyriel begitu saja. Jade segera melompat ke atas atap lainnya tanpa terjatuh dan berusaha menghindari rintangan lainnya seperti papan-papan bekas bangunan yang diletakkan di atas atap. Saat ia menyadari bahwa Cyriel berada tepat di jalanan di bawahnya, Jade segera melompat ke depan Cyriel. Tepat sebelum menyentuh tanah, ia mengeluarkan pedang birunya dan berteriak, "Magnum Break!!"

Ledakan yang terjadi kemudian menghantam Cyriel dan membuatnya terjatuh. Ia hanya menerima luka kecil, namun sudah cukup untuk membuatnya terjatuh karena tekanan dari ledakan itu. Tanpa pikir panjang Jade segera mengarahkan Blade-nya kepada wajah Cyriel yang tampak ceria. "Menyerah juga akhirnya...," kata Jade. "Nah, kembalikan uangku," kata Jade. "Tidak. Kau telah membelinya dariku. Jadi tak ada pengembalian uang," kata Cyriel kesal. Jade yang merasa dirugikan segera mendekatkan pedangnya ke wajah Cyriel. "Baiklah, ini," kata Cyriel yang tampak gugup karena wajahnya dipertemukan dengan ujung pedang yang berkilau biru. Ia segera mengembalikan sebagian uang Jade. "Karena aku sudah mengembalikan uangmu, aku ada satu permintaan," kata Cyriel. "Apa lagi sekarang?" tanya Jade. "Belum pernah aku melihat Swordman yang selincah dirimu, jadi aku ingin ikut dalam petualanganmu," kata Cyriel. "Petualangan? Aku bukan pengembara. Aku hanya ingin kembali ke Prontera," kata Jade. "Ya, aku akan ikut ke Prontera. Kurasa di sana aku akan mendapat banyak pelanggan," kata Cyriel. "Yah, mungkin. Tapi kau harus berjanji takkan menipu lagi," kata Jade sambil menyarungkan pedangnya. Cyriel mengangguk.

Jade mempertemukan Cyriel dengan Sharlean, Carish, dan Cherlia. Mereka tidak keberatan Cyriel ikut dalam perjalanan mereka. "Tapi kami tidak berjanji akan melakukan perjalanan yang menarik setelah kami tiba di Prontera. Ingat kami hanya ingin kembali ke kota asal kami," kata Jade. "Ya, tapi kurasa petualanganlah yang akan menemukan kalian. Aku dapat merasakannya dari dirimu...mmm...Jade," kata Cyriel. "Terserahlah...," kata Jade. Jarred tak berkomentar apa-apa. Ia mengetahui tentang apa yang tidak diketahui Jade, yaitu tujuan didirikannya Midgard Academy. "Waktunya akan tiba," gumamnya. Ardelle telah memberitahunya segala sesuatu tentang Odin dan Valhalla. Ia merasa pertempuran yang tak terhindarkan akan terjadi dalam waktu dekat ini. "Ayo kita berangkat," Jarred mendengar Jade berteriak. Ia teringat kembali kepada kata-kata Ardelle sebelum ia lulus dulu.

"Jarred," panggil Ardelle.

"Ya, ada apa?" kata Jarred.

"Kau tahu, untuk apa sekolah ini didirikan?" kata Ardelle tersenyum. Jarred menggeleng. "Perang besar...," jawab Ardelle. "Aku tak mengerti maksud Anda," kata Jarred. "Bertahun-tahun yang lalu, telah diramalkan bahwa para dewa dari Valhalla akan melakukan serangan untuk menghukum umat manusia yang dianggap pendosa. Ia mengatakan bahwa perang itulah yang akan mengubah sejarah dunia. Apakah manusia atau dewa yang akan menang, kita sendiri yang menentukan. Aku mendirikan sekolah ini dalam rangka mempersiapkan murid-murid untuk berperang mempertahankan tanah Rune Midgard," kata Ardelle.

"Aku telah mendengar ramalan itu sebelumnya. Ragnarok...," kata Jarred.

"Ya, Ragnarok. Kata itulah yang digunakan oleh peramal beberapa tahun yang lalu untuk menggambarkan keagungannya. Perang suci Ragnarok...," kata Ardelle.

"Aku tak menyangka...Anda melakukan semua ini demi Ragnarok?" kata Jarred. Ardelle tidak menjawab. Ia hanya meneguk teh dari cangkir di meja kerjanya. "Ragnarok takkan bisa dihindari," kata Ardelle setelah ia membisu selama beberapa saat. "Anda sama saja mengirimkan murid ke misi bunuh diri!" kata Jarred. "Ya, mungkin saja. Tapi apakah 'misi bunuh diri' yang kau maksud takkan terjadi apabila aku tidak mendirikan sekolah ini? Odin akan menghancurkan semua manusia, tanpa kecuali," katanya. "Bahkan kau, Jarred, takkan bisa menghindari Ragnarok," ia menambahkan. Jarred tampak membeku. Ia tidak dapat berkata-kata lagi. Ia ingin memprotes, tapi ia tahu bahwa kata-katanya takkan ada gunanya. Apa yang dikatakan Ardelle memang benar. Ragnarok-lah yang akan mengakhiri dan memulai segalanya. Ragnarok pula yang akan membawa Oblivion (kehancuran) bagi dua dunia: Rune Midgard, tempat manusia tinggal, dan Asgard, tempat para dewa tinggal yang dipimpin oleh Odin di istana Valhalla. "Semua akan berakhir jika kita tak berbuat apa-apa," kata Ardelle seakan mengerti raut wajah Jarred.

"Namun ada harapan. Jika kita bisa melatih para murid untuk menjadi petarung yang kuat, mereka mungkin dapat mempertahankan Rune Midgard, bahkan Asgard sekalipun," kata Ardelle. "Maksud Anda, kita harus melawan para dewa tanpa menghancurkan Asgard?" tanya Jarred. Ardelle menggeleng. "Asgard takkan bisa dihancurkan. Tempat itu adalah keabadian itu sendiri. Tapi bukan berarti kita tak bisa menyegel pintu masuk yang menghubungkan Rune Midgard dan Asgard," kata Ardelle. "Aku mengerti," jawab Jarred.

Jarred tersadar dari lamunannya. Ia sedang berjalan bersama Jade menuju Prontera. Banyak sekali hal yang ia ketahui, namun tak bisa diceritakan pada teman-temannya, bahkan tidak kepada Carish, kekasihnya sendiri. "Carish, maafkan aku...," pikirnya. "Jade, Cherlia, Sharlean, Carish...dan juga kau Cyriel, apakah kalian sanggup bertahan dalam Ragnarok...?" pikirnya lagi. Ia melihat adanya harapan dalam diri Jade, namun itu bukan berarti Jade dapat mengalahkan Odin. Kemampuannya masih jauh di bawah Odin. "Kuharap kita bukan bertempur untuk sesuatu yang tidak mungkin," katanya dengan suara rendah pada diri sendiri.

Jumat, November 21, 2008

RO Fanfic 05

Lolongan serigala mulai terdengar mendekat, membuat siapapun yang mendengarnya menjadi waspada. Jade dan Cherlia berdiri saling membelakangi untuk mengantisipasi jika terjadi serangan mendadak. Mereka cukup yakin akan dapat memenangkan pertempuran ini. "Toh mereka hanya serigala," pikir Jade. Jade melihat Rehyas menunjuk ke salah satu sudut di mana terdapat beberapa pasang mata yang menyala kekuningan. Tanpa pikir panjang, Jade segera berlari ke arah kedua mata itu dan menusukkan pedangnya tepat di antara kedua mata itu. Saat itu juga terdengar suara erangan serigala yang kesakitan. Itu pun merupakan tanda bahwa pertempuran telah dimulai. Jade bergerak cepat, ia mengibaskan pedangnya ke serigala lain yang sedang terdiam di dekatnya. Kemudian, ia mulai menggunakan Bash untuk menghabisinya.

"Increase Agility!" Cherlia berteriak. Suaranya tidak terlalu jelas di tengah-tengah pertempuran. Jade hanya tersenyum dan mengangguk padanya. Gerakan Jade telah bertambah cepat. Kakinya terasa begitu ringan dan lincah. Jade menunggu salah satu serigala mendekat dan segera menebasnya dengan pukulan keras. Serigala itu segera terjatuh dan menyusul serigala lainnya menjadi korban tebasan Jade. Meskipun Jade sudah semakin kuat daripada sebelumnya, beberapa ekor serigala berhasil menyerang Jade dengan giginya yang tajam. Jade merasa sedikit nyeri di bagian kaki dan punggung yang disebabkan oleh gigitan beberapa ekor serigala. "Cherlia, mundur!!" kata Jade. Cherlia segera melompat mundur dan meng-cast Heal pada Jade. Jade memanfaatkan kesempatan itu untuk menusukkan pedangnya ke tanah dan mengeluarkan ledakan Magnum Break-nya. Beberapa serigala di sekitarnya mulai terbakar oleh api ledakan Magnum Break. Beberapa orang Archer pun ikut membantunya dan mulai memanah serigala-serigala yang masih bertahan dari serangan Magnum Break milik Jade.


Cherlia berusaha membantu Jade bergerak dari tengah hujan panah yang menghujani para serigala itu. "Sebelah sini kita serahkan pada Rehyas," kata Jade. Mereka melihat Rehyas yang sedang membidik seekor serigala dan memanahnya tepat di kepalanya. "Nice shot...," komentar Jade. Jade dan Cherlia segera berlari menuju pintu masuk kota Payon dan menunggu serangan. Mereka melihat beberapa serigala masih berkeliaran di sekitar pintu barat dan timur Payon, namun pintu masuknya malah lebih aman. Mungkin para serigala menghindari jalan utama ke kota Payon. Tapi, masih ada juga sebagian kecil serigala yang 'nekat' mendekati pintu masuk utama, yang berakibat tertebasnya tubuh mereka. "Bash!!" teriak Jade saat seekor serigala melompat ke arahnya. Serigala itu terkena Bash tepat di perutnya.

Serigala yang berusaha masuk melalui pintu utama semakin banyak. Jade mulai merasa kesulitan menghadapi serbuan para serigala. "Jade, kau tak apa-apa?" tanya Cherlia. "Yah," jawab Jade. Meskipun ia mengatakan bahwa ia tak apa-apa, jelas terlihat bahwa tubuhnya sudah basah oleh keringat. "Kayaknya cape banget ya?" kata Cherlia. "Nggak kok. Belum seberapa," jawab Jade. Ia tidak ingin kabur dari pertempuran; tidak di hadapan Cherlia. Ia terus mengibaskan pedangnya tanpa arah dan membunuh beberapa ekor serigala. Namun, sekeras apapun ia berusaha, tenaganya tetaplah terbatas. Pertahanannya mulai menurun dan beberapa serigala mulai mengerumuni dan menggigit dan mencakarnya. Saat itulah dua orang gadis menampakkan diri dari kegelapan malam dan mengeluarkan dua buah sihir Thunder Storm yang mengenai para serigala di sekitar Jade (termasuk Jade sendiri). Kemudian seorang Assassin berwajah cool melompat ke arah seekor serigala yang masih sadarkan diri dan menebasnya menggunakan Katar-nya.

"Sharlean!? Carish!? Jarred!?" kata Jade sambil berusaha berdiri dengan menggunakan pedangnya sebagai penopang. Carish nyengir saat bertemu dengannya. "Gue cari ke mana-mana, eh, dia di sini lagi asyik sama Cherlia," kata Sharlean. "Hey, siapa yang 'lagi asyik'??" kata Jade. "Nggak lihat di sini lagi perang kecil-kecilan!?" kata Jade. "Whatever lah...tapi kita boleh dong ikut bertempur? Nggak ada salahnya kan tambah tiga orang lagi?" kata Sharlean. Jade mengangguk. Sharlean segera mengeluarkan Fire Bolt untuk menghajar seekor serigala di belakang Jade menggunakan api yang dilemparkan secara bertubi-tubi. "Eh, tapi Thunder Bolt kalian berdua sakit juga ya...?" kata Jade yang agak tersinggung karena baru saja terkena Thunder Bolt. Sharlean tertawa dan menggunakan Thunder Bolt ke arah Jade sekali lagi. "Jangan!" kata Jade sambil melompat menghindari sambaran petir. Jade segera memilih untuk berlari ke arah beberapa serigala di sisi lain kota daripada terkena sambaran petir dari Lightning Bolt atau Thunder Storm milik Sharlean.

Jade melihat keadaan sekitar setelah pertempuran berakhir. Payon yang sebelumnya merupakan kota yang damai telah berubah hanya dalam satu malam. Mereka memang sudah memenangkan pertempuran, tapi korban yang jatuh tidaklah sedikit. Cherlia segera melakukan upacara pemakaman (berhubung ia seorang Acolyte, yang berarti adalah calon Priest). Setelah upacara selesai, Jade segera menghampiri Cherlia. Ia duduk di sebelahnya dengan wajah muram. "C, ada yang ingin kubicarakan," kata Jade. Wajahnya tampak begitu serius. Cherlia yang menatapnya tampak cemas. "Apa ada masalah?" tanyanya. Mereka segera berjalan menuju sungai kecil yang mengalir di sebelah barat kota Payon. Suasana tampak begitu indah dan tenang di tempat itu. Tak ada mayat prajurit ataupun serigala yang tergeletak di tanah. Jade terdiam selama beberapa saat.

"Maaf," katanya singkat.

"Untuk apa?" tanya Cherlia yang juga kebingungan.

"Aku tak bisa melindungimu saat pertempuran kemarin malam. Malah aku yang kesulitan melawan serigala sebanyak itu," kata Jade. "Nggak usah dipikirin lah. Melawan serigala sebanyak itu kan memang susah," kata Cherlia berusaha menghibur Jade. "Tapi aku telah berjanji untuk melindungimu, makanya kubilang kau jangan jauh-jauh dariku," kata Jade. Cherlia tersenyum dan menepuk bahu Jade. "Dasar...," katanya. "Gue serius nih...," kata Jade. "Jadi orang jangan terlalu serius begitu. Nanti nggak ada yang suka lho," kata Cherlia. "Eh? Maksudnya?" kata Jade. "Ya, gitu deh," balas Cherlia. "Hey, jangan ngomong yang aneh-aneh ya," kata Jade. "Nah, kalau lebih santai begitu kan enak," kata Cherlia tersenyum manis. Jade hanya bengong saat menatapnya. "Ya udah, balik yuk," kata Jade.

***

Sementara itu, pasukan Valkyrie milik Odin sudah siap untuk bertempur. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Odin sendiri. "Ascrath sang Lord Knight, Altrinna sang Soul Linker, Eldrigo sang Taekwon Master, Dellia sang Sniper, Raine sang Gypsy, Ascalard sang High Priest, Arsean sang Gunslinger, dan Fionelle sang Ninja," kata Odin menyebutkan nama-nama delapan orang Valkyrie kepercayaannya. "The Eight Valkyries of Valhalla - Delapan Valkyrie dari Valhalla, kalian tidak boleh mengecewakanku. Beberapa hari lagi kita akan berangkat bersama dengan para pasukan kita," kata Odin. Delapan orang yang disebut dengan Eight Valkyries of Valhalla berlutut dan memberi hormat. Setelah Odin mempersilakan mereka untuk meninggalkan ruangan, mereka segera berjalan perlahan meninggalkan kamar tempat Odin duduk di atas takhtanya.

"Sebentar lagi, gerbang menuju dunia yang baru akan terbuka," kata iblis Baphomet yang sedang bersembunyi di salah satu pilar di ruangan itu. "Ya, dan saat gerbang dibuka, para pendosa itu akan menerima hukuman mereka," balas Odin. "Ya, Tuanku Odin," jawab Baphomet dengan nada hormat. Odin sadar, Baphomet bukanlah iblis yang dapat dipercaya. Ia sudah memiliki rencana sendiri untuk Baphomet. Ia pun sadar bahwa penghormatan yang diberikan Baphomet kepadanya hanya merupakan topeng belaka untuk menutupi diri sang iblis yang sebenarnya.

Rabu, November 19, 2008

RO Fanfic 04

"Eh, ngomong-ngomong, gimana kabar si Jarred?" tanya Sharlean. "Baik-baik aja. Hmm...udah jam segini si Jade belum pulang juga," kata Carish. Mereka memesan dua gelas minuman dan menunggu. Sementara itu Sharlean terus memperhatikan jam yang tergantung di dinding dekat mereka. Sharlean segera meneguk minumannya sesaat setelah minuman itu sampai. Kemudian, mereka membayar dan keluar dari kafe. "Kalau dia balik gue Thunder Storm nanti," kata Sharlean agak kesal.

Malam semakin larut dan Jade ataupun Cherlia tidak tampak. Sharlean dan Carish memutuskan untuk mencarinya di sekitar hutan Prontera. Namun, mereka hanya bertemu dengan dua orang yang telah menyerang Jade sebelumnya, Shera dan Assassin partnernya. "Hmm...dua orang mangsa lagi," kata Shera tersenyum. Sharlean yang sudah waspada dengan kehadiran mereka segera mengeluarkan tongkat sihirnya dan menggenggamnya erat-erat. Tongkat sihir seorang Mage dapat digunakan untuk menahan serangan fisik meskipun tongkat itu terlihat rapuh karena sebenarnya tongkat itu telah dilapisi oleh mantra sihir yang cukup rumit. "Apa mau kalian?" tanya Sharlean. "Yah, tadi siang kami gagal menghabisi dua orang anak seumuran kalian, jadi sekarang kami hanya ingin memuaskan diri kami dengan membunuh kalian," kata Shera tersenyum licik. Tanpa pikir panjang, Sharlean pun menggunakan Lightning Bolt-nya untuk menyerang Shera, namun Shera adalah seorang Stalker sehingga serangan itu dapat dihindarinya dengan mudah. "Stone Curse!" kata Carish, menggunakan sihir pembatuan. Tubuh Shera mulai diselimuti batu-batu yang membuatnya sulit bergerak. "Sekarang!!" katanya. Sharlean segera mengarahkan tongkat sihirnya pada Shera dan berkonsentrasi. "Thunder Storm!!" katanya. Kilatan petir muncul dari langit dan menghajar Shera beberapa kali. Namun, pertempuran belum selesai. Sang Assassin yang merupakan partner Shera telah melesat ke arah Carish dan memukulnya beberapa kali. Serangan dan gerakannya begitu cepat sehingga Sharlean tidak dapat mengarahkan Thunder Storm padanya. Carish berhasil melompat menghindari serangan selanjutnya, namun tubuhnya telah terluka cukup parah.

Saat itu, seorang Assassin lain sedang mengamati mereka dan mempersiapkan senjatanya. Ia berjalan layaknya sebuah bayangan di kegelapan malam. Ia menatap Carish yang sedang berusaha keras menghindari serangan sang Assassin yang menyerangnya. "Ceroboh seperti biasa...," kata Assassin yang sedang memperhatikan mereka. Tepat sebelum Carish tertusuk oleh Katar sang Assassin, Assassin yang sedang bersembunyi di bayangan itu melompat keluar dan mempererat pegangannya pada Katar miliknya. "Sonic Blow!!"

"Jarred!? Sedang apa kau di sini?" tanya Carish.

"Mengawasi kalian. Ternyata dugaanku benar, hutan tidak aman pada saat malam hari, sekalipun ini hutan Prontera," kata Assassin yang bernama Jarred itu. Sharlean menyenggol pinggang Carish. "Dia khawatir...," katanya. Carish hanya tersenyum. "Thanks ya...," jawab Carish singkat. Sesaat kemudian, mereka baru menyadari bahwa Jarred telah berhasil menebas Assassin itu tepat pada lehernya sehingga sang Assassin yang menyerang mereka tergeletak tak bernyawa di depan mereka. Jarred yang mengetahui bahwa Shera masih terjebak di antara batu-batu sihir, segera mengarahkan Katar nya pada wajah Shera. "Jika kau menyentuhnya...kau akan tahu akibatnya," katanya dengan wajah serius. Shera tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Stalker adalah seseorang yang tidak mengenal rasa takut, namun mereka hanya dapat menyerang dari belakang, bukan secara frontal. Jadi, sekalipun ia dapat meloloskan diri dari bebatuan di sekitar kakinya, ia tidak akan berdaya menghadapi Jarred yang sedang mengarahkan dua buah Katar ke arah wajahnya.

Jarred mengikuti Sharlean dan Carish memasuki kota Prontera. Mereka merasa perlu menceritakan tentang hilangnya Jade kepada Jarred. Sharlean tidak terbiasa berbicara pada Jarred, maka ia menyuruh Carish yang menceritakannya dari awal. Saat mendengarkan cerita Carish, Jarred hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. "Jika kau berbicara tentang hilangnya temanmu, mungkin mereka tersesat ke hutan Payon. Aku mendengar tentang dua orang yang seumuran kalian yang melawan Wolf di hutan Payon. Saat ini mereka sedang berada di kota Payon itu sendiri," kata Jarred. "Kok bisa tau secepat itu?" tanya Sharlean. "Yah, Guildku memiliki banyak cabang di sekitar Prontera dan Payon, jadi informasi tentang keadaan di sekitar Payon bukanlah sesuatu yang sulit untuk didapatkan," jawab Jarred tersenyum. Guild adalah sebuah kelompok yang diikuti oleh orang-orang yang berkemampuan cukup tinggi. Biasanya, Guild yang cukup terkenal memiliki lebih dari satu cabang di Rune Midgard. "Jadi kita ke Payon sekarang?" tanya Carish. "Yap. Apapun yang terjadi, kita harus menemukan mereka," kata Sharlean. "Jangan malam ini. Payon akan berperang melawan gerombolan serigala yang menyerang kota. Tidak akan aman untuk kalian jika datang malam ini," kata Jarred. "Thanks buat peringatannya, tapi kurasa kita harus bergerak cepat. Kalau perlu, kita akan ikut serta di dalam pertempuran di Payon," kata Sharlean.

Sementara itu, Jade dan Cherlia sedang duduk di depan toko senjata di Payon sambil menunggu datangnya para serigala. "Kau siap?" tanya Jade. "Ya," jawab Cherlia. Para Swordman dan Archer dari Payon sudah mempersiapkan diri. Beberapa Crusader juga berdiri pada garis depan. "Jangan khawatir, aku akan mendukungmu," kata Rehyas sambil menepuk bahu Jade. Jade hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya, ia mengkhawatirkan Cherlia. Cherlia adalah seorang Acolyte, berarti ia tidak sanggup bertempur sendiri. Jika Jade terlalu jauh darinya, besar kemungkinan ia akan terluka. Tidak, aku pasti bisa melindunginya, pikir Jade. Pegangannya terhadap pedang semakin erat. Ia tahu bahwa ini adalah pertempuran yang sebenarnya, tapi ia tidak boleh merasa ragu. "Akan kutunjukkan hasil latihanku selama ini," kata Jade. Cherlia hanya mengangguk. Kelihatannya ia juga mengkhawatirkan hal yang sama.

RO Fanfic 03

Hutan itu begitu gelap dan tertutup oleh pepohonan yang cukup rendah. Udaranya cukup segar, tapi tetap saja Jade merasakan ada yang sedang mengawasi mereka. Cherlia terus mengikuti Jade sambil menggenggam Mace-nya dan bersiap menyerang jika terjadi sesuatu. Pedang Jade tergenggam erat di tangannya dan pegangan pedangnya mulai basah oleh keringat dari tangan Jade. Jade sendiri berusaha memfokuskan matanya dan menyesuaikan dalam kegelapan yang semakin menjadi. Ia sering mendengar bahwa hutan lebih berbahaya di malam hari. Saat itu, ia mendengar suara lolongan serigala dari kejauhan. Kemudian ia mendengar beberapa langkah kaki. Seseorang? Ataukah sesuatu? Apapun itu, Jade tidak berani mengambil resiko untuk meninggalkan Cherlia dan memeriksa suara itu. Ia tidak ingin membahayakan Cherlia.

"Masih kuat jalan?" tanya Jade. "Yah...mungkin," katanya. Ia tampak berkeringat dan lelah. "Sini, naik ke punggungku. Biar aku yang menggendongmu untuk sementara," kata Jade. Cherlia menggelengkan kepalanya. "Nggak usah. Aku bisa jalan sendiri kok," katanya. Tiba-tiba ia terantuk sesuatu dan terjatuh. "Tuh kan, apa kubilang, lebih baik kau kugendong sampai keluar dari hutan ini," kata Jade. "Iya deh...sorry ya," balas Cherlia. "Nggak apa-apa kok," jawab Jade sambil tersenyum. Jade segera menyarungkan pedangnya dan menggendong Cherlia di punggungnya. Kemudian, ia melanjutkan berjalan menuju kegelapan hutan. Sekali lagi, ia mendengar suara lolongan serigala...semakin dekat. Langkah kaki yang didengarnya pun masih dapat terdengar semakin jelas. "Cherlia, gunakan Increase Agility!" kata Jade. Cherlia segera menggunakan sihir penambah kecepatan gerak miliknya dan Jade pun mulai berjalan dengan lebih cepat. Namun, sesuatu membuat Jade berhenti. Ia terkejut dengan beberapa mata kekuningan di hadapannya. Mata-mata itu adalah milik makhluk berkaki empat yang disebut dengan Wolf. Bentuknya persis dengan serigala pada umumnya, namun, Wolf di Rune Midgard lebih agresif dan selalu menyerang secara berkelompok.

"Feeling gue nggak enak nih...," kata Jade. Ia menurunkan Cherlia dan mengeluarkan pedangnya. Sebelum para serigala melihat Cherlia, Jade segera berteriak keras agar para serigala terpancing untuk menyerangnya. Ia berhasil menebas mati satu ekor serigala, namun masih tersisa sekitar empat belas serigala lainnya. Bagi seorang Swordman sepertinya, diserang oleh geombolan serigala bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Apalagi saat ia harus melindungi seseorang. Jade segera mengibaskan pedang di tangannya saat dua ekor serigala melesat ke arahnya. Hanya satu ekor yang berhasil ditebasnya, itu pun hanya sedikit melukainya. Serigala lainnya mulai mendekati dan menggigiti kakinya. "Heal!!" teriak Cherlia. Luka Jade membaik sedikit, namun mantra Heal tidak begitu berguna saat diserang oleh sepasukan serigala lapar. Beberapa saat kemudian, seekor serigala berhasil menggigit lengan kanan Jade dan membuatnya menjatuhkan pedangnya. "Sial!!" katanya sambil menendang salah satu serigala di dekatnya. Ia segera berguling dan mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah dan menggunakan Magnum Break miliknya untuk meledakkan serigala yang berdekatan dengannya. Beberapa lama kemudian, datang sepasukan serigala lainnya. Tampaknya mereka bukan datang dengan bantuan, pikir Jade. Ia terus menebas serigala di sekitarnya tanpa pandang bulu. "Angelus!" teriak Cherlia, menggunakan sihir untuk meningkatkan daya tahan tubuh Jade. "Blessing!" teriaknya lagi, mengeluarkan sihir untuk meningkatkan serangan dan ketepatan serangan fisik. "Bagus, dengan ini akan jadi lebih mudah," kata Jade, menebas salah satu serigala dengan Bash-nya yang cukup kuat.

Setelah para serigala itu pergi, Cherlia mulai menggunakan Heal pada Jade. Lukanya cukup parah. "Kita sebaiknya istirahat dulu sekarang," kata Cherlia. Jade mengangguk. Ia menancapkan pedangnya ke tanah dan mulai merebahkan dirinya di tanah. "Keras ya...," kata Jade. "Iya lah, kalau nggak keras namanya kasur, bukan tanah," kata Cherlia tertawa. Jade ikut tersenyum. "Sharlean lagi ngapain ya?" kata Cherlia lagi. "Entahlah," jawab Jade.

"Hey, C," kata Jade tiba-tiba memecahkan keheningan malam. "Hmm?" kata Cherlia. Jade menatapnya selama beberapa saat. "Kamu kan capek banget, jadi tidur duluan aja," kata Jade. "Iya deh, tapi kamu juga jangan lupa tidur ya," katanya. Jade mengangguk. Selama beberapa saat, ia terus memikirkan banyak hal, mulai dari Cherlia, Sharlean, Prontera, dan hal-hal lainnya. Ia ingin kembali ke Prontera untuk bertemu dengan teman-temannya, namun hal itu tampaknya masih memerlukan waktu lama. Untunglah mereka sedang dalam masa liburan sekolah, jadi tidak akan jadi masalah kalau mereka berada di hutan itu selama beberapa hari. Tiba-tiba sesuatu menyadarkannya dari lamunannya. Seorang Archer telah membidiknya dengan sebuah anak panah dan anak panah itu tepat mengenai kakinya. Ia berusaha untuk berteriak, namun anak panah itu tampaknya sudah dilumurkan obat tidur sehingga matanya terasa berat. Ia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum akhirnya ia tertidur. "Cher..."

Jade membuka matanya. Ia berada di sebuah rumah yang cukup besar, namun sederhana. Di hadapannya, Cherlia duduk sambil terikat oleh sebuah tali tambang yang cukup kuat. Di sebelahnya, duduk seorang Archer berpakaian abu-abu yang sedang menggenggam busurnya. "Siapa kau? Di mana ini?" kata Jade sedikit emosi. "Payon," jawab Archer itu singkat. "Mengapa kau membawa kami ke sini?" tanya Jade. Cherlia hanya menatap Jade sambil terdiam. "Kami memerlukan bantuan kalian," jawab orang itu. "Oh ya? Kau memerlukan bantuan kami, dan kau memintanya dengan menangkap dan mengikat kami di sini!?" kata Jade kesal. "Tenanglah. Kami hanya tidak yakin kau tidak akan melakukan perlawanan, itu saja alasan kami mengikatmu. Sekarang aku akan membuka ikatanmu," kata orang itu. "Ya, dan gadis itu juga," kata Jade. "Baiklah. Tapi ingat, jika kau melakukan sesuatu yang membahayakan penduduk desa ini, kami tidak akan ragu untuk membunuhmu," kata orang itu. "Terserah...," kata Jade kesal saat ikatannya dilepas. Setelah ikatan Cherlia juga dilepaskan, orang itu mengembalikan senajat milik Jade dan Cherlia dan membungkuk dalam-dalam. "Maafkan kami atas perlakuan yang kasar ini," katanya. Jade masih tampak kesal. Ia menyarungkan pedangnya dan berdiri. "Jadi, bantuan apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Jade. "Kami memerlukan kalian untuk membasmi Wolf hutan yang sering menyerang desa ini waktu malam hari. Setelah melihat kemampuanmu saat kau melawan puluhan Wolf, kami yakin bahwa kau bisa melakukannya dengan baik. Dengan bantuan gadis ini, tentunya," kata orang itu. "Jadi, kau menginginkan kami untuk membantu kalian melawan pasukan Wolf?" kata Jade. Orang itu mengangguk. "Baiklah, kurasa itu bukan sesuatu yang sulit," kata Jade, "selama Cherlia bersamaku dalam pertempuran."

Orang itu membungkuk sekali lagi, mengucapkan terima kasih. "Oh ya, namaku Rehyas," kata orang itu. "Jade," kata Jade singkat. "Aku Cherlia," kata Cherlia sambil tersenyum. Mereka berjalan keluar dan melihat bahwa hari sudah siang. Mereka harus bersiap-siap untuk pertempuran malam nanti.

Chapter 2: "Night at Prontera"

Sharlean dan Carish sedang berjalan di sepanjang jalan kecil di kota Prontera. Mereka tampak bingung setelah kehilangan Jade dan Cherlia. "Ke mana aja sih mereka?" kata Sharlean kesal. "Entahlah, mungkin mereka tersesat di hutan," jawab Carish yang berambut hitam panjang. "Sebentar lagi malam nih, masa mereka mau menghilang dua hari berturut-turut?" gerutu Sharlean. Lampu-lampu jalanan di Prontera mulai dinyalakan. Prontera tampak begitu indah pada waktu malam. Tentunya hal ini dikarenakan Prontera adalah salah satu kota besar yang disebut Capital di Rune Midgard. "Keterlaluan deh mereka," kata Sharlean. "Masa pergi bilang-bilang. Terus cuma berduaan sama Cherlia lagi...nyebelin. Masa gue ditinggal di hutan sendirian," kata Sharlean. Mereka segera berjalan menuju kafe kecil yang terletak di sebelah utara Prontera.