Sabtu, Januari 24, 2009

RO Fanfic 15

Chapter 6: "Mystery of Niflheim"

Jade berjalan sepanjang kota Niflheim. Kota itu begitu gelap dan suram. Beberapa ekor makhluk yang tidak jelas bentuknya terlihat beberapa kali melintasi daerah pinggiran kota. "Hati-hati," bisik Jade pada Cherlia. Cherlia terus mengikuti di belakangnya sambil menggenggam Bible miliknya erat-erat. Jade segera mengayunkan pedangnya sekuat tenaga saat seekor monster kecil berwarna hitam terbang mendekati Cherlia. "Holy Cross!" katanya, melakukan tebasan berbentuk salib di udara. Energi suci menyelimuti pedang Jade dan segera menghantam monster itu. Monster itu terjatuh dan menghilang perlahan-lahan. Pertarungan singkat itu telah menarik perhatian beberapa ekor monster lainnya. Jade segera bersiap melakukan perlawanan apabila ada monster lain yang mendekat.

Tanpa membuang waktu, Jade segera menghabisi gerombolan monster yang bergerak ke arah mereka. Sementara itu, Cherlia terus melakukan Heal pada Jade untuk menyembuhkan luka-lukanya yang terjadi saat ia bertempur. "Cherlia! Gunakan Sanctuary!" kata Jade. Cherlia mengangguk dan mengarahkan kedua tangannya kepada Jade dan monster-monster undead di sekitarnya. "Sanctuary!" katanya. Sebuah area cahaya tercipta di sekeliling Jade. Cahaya suci itu menyembuhkan lukanya perlahan-lahan dan melukai monster-monster di sekitarnya. Jade segera memutar pedangnya dan menusukkannya ke tanah. Seketika itu juga, cahaya suci berbentuk salib muncul di bawahnya dan membesar. Cahaya itu memberikan efek serangan suci pada monster-monster di sekitar Jade. "Grand Cross!" teriaknya. Meskipun serangan itu sangat berguna, Jade juga merasakan efeknya di sekitar tubuhnya. Tubuhnya yang tertutup baju besi terasa sakit akibat ledakan-ledakan kecil di sekitarnya. Menggunakan Grand Cross cukup menghabiskan stamina, namun ia tahu bahwa ia harus dapat melakukan semua itu karena ia telah memilih untuk menjadi seorang Crusader. Semua monster di sekitarnya telah jatuh dan menghilang, namun sakit di tubuh Jade masih terasa. "Kau tak apa-apa?" tanya Cherlia.
Jade mengangguk perlahan dan berdiri. Ia mengangkat perisainya dan menggenggamnya lebih erat.

Di sisi lain kota Niflheim tampak sebuah kuburan yang cukup menyeramkan. Namun, Jade tahu bahwa ketakutan hanya akan menghambat mereka. "Kau...yakin mau lewat jalan ini...?" tanya Cherlia dengan suara rendah. "Ya. Kenapa?" tanya Jade. "Umm...aku nggak berani lewat jalan ini...ngeri," kata Cherlia. Jade segera berdiri di sebelahnya. "Ini satu-satunya jalan yang dapat kita tempuh untuk menuju tempat di mana Jarred menunggu. Sini," kata Jade sambil menggenggam tangan Cherlia. Cherlia terdiam selama beberapa saat dan mengangguk. "Baiklah...tapi jangan jauh-jauh dariku," katanya. Jade mengangguk setuju.

Tanah tempat mereka berjalan tampak hitam dan lembab. Mereka dapat merasakan perbedaan saat mereka memasuki daerah kuburan itu. Tak ada satupun monster di sekitar mereka, namun rasa takut terus mencekam. Kegelapan malam yang begitu terasa hanya mengganggu jalan mereka. Sesekali, Jade menatap Chelia untuk memastikan bahwa ia tak apa-apa. Namun, setiap kali ia menatapnya, Cherlia terus berwajah tegang. Tiba-tiba, terdengar suara yang terdengar seperti sebuah nyanyian:

Niflheim, City of the Dead - Niflheim, kota kematian
Where humans feel their dread - Tempat manusia merasakan kengerian
Everytime, everyday they lost - Setiap waktu mereka kehilangan
The feeling innermost - Yang terdalam dari perasaan
Of the everlasting brave - Dari keabadian pada keberanian
Niflheim, bring them to the grave. - Niflheim, bawalah ke penguburan.

Jade merasa aneh mendengar rima yang sama di akhir tiap kalimat. Lagu itu membuatnya bergidik sejenak, namun ia berusaha mendekati sumber suara itu. Di sisi lain kuburan, terdapat sebuah rumah kecil dengan lampu menyala. Meskipun begitu, rumah itu tampak suram, bahkan lampunya yang menyala tampak remang-remang. Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap dari dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Jade mendengar lagu itu dinyanyikan kembali berulang-ulang. Suara di dalam rumah terkadang terdengar seperti suara laki-laki, terkadang terdengar seperti suara perempuan. Suara itu terdengar bersahut-sahutan, semakin lama semakin bersemangat dan juga semakin misterius. Jade berusaha mengintip dari jendela kecil di sisi kanan rumah, tapi ia tak dapat melihat apapun karena cahaya lampu yang remang-remang menyulitkannya untuk melihat apa yang ada di dalam rumah.

"Kita harus masuk ke dalam rumah," kata Jade.

"Kau yakin?" tanya Cherlia.

Jade mengangguk. "Jika terjadi sesuatu, kau harus lari dan mencari Jarred," kata Jade. "Tapi...," kata Cherlia. "Tidak ada tapi," kata Jade sebelum Cherlia menyelesaikan kalimatnya. "Baiklah," gumam Cherlia. Perlahan-lahan dan tanpa mengeluarkan suara apapun, Jade mendekati pintu depan rumah dan menatap Cherlia. Kemudian ia memutar pegangan pintunya dan membukanya secara perlahan-lahan. Ia melihat sesuatu, sesuatu yang membuatnya sangat terkejut sekaligus merasa ngeri. Pemandangan yang ia lihat tampak tidak mungkin bagi orang pada umumnya. Bahkan Jade, yang telah mengetahui bahwa sesuatu yang tidak mungkin terjadi bisa saja terjadi, masih juga terkejut melihat sesuatu yang ada di hadapannya.

Kamis, Januari 08, 2009

RO Fanfic 14

Cyriel duduk terdiam di hadapan sang instruktur. Di hadapannya, terdapat beberapa buah gelas kimia berbentuk tabung yang terbuat dari kaca. Ia menggenggam sebuah gelas kimia lainnya sambil menatap gurunya. "Ingat, untuk melakukan alchemy dengan baik, kau harus mengetahui bahan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sebuah potion. Potion tersebut dapat digunakan baik untuk menyerang maupun menolong orang lain," kata sang instruktur. Ia memerintahkan Cyriel untuk mendekatinya. "Untuk itu, kau juga harus mengerti tentang dasar potion. Sesungguhnya, potion merupakan cairan yang terdiri dari banyak bahan. Pernahkah kau membayangkan berapa banyak bahan yang digunakan untuk menciptakan sebuah potion?" tanya sang instruktur. Cyriel menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tak pernah berpikir untuk menciptakan sebuah potion jika bukan karena ia ingin menjadi seorang Alchemist.

Sang instruktur menyerahkan sebuah tabung berisi cairan kepadanya. "Cairan itu berisi larutan dasar untuk menciptakan sebuah potion. Sekarang, gunakan instingmu untuk mencampur larutan itu. Jika kau berhasil menciptakan sebuah potion yang cukup baik, kau lulus," katanya. "Jika aku gagal?" tanya Cyriel. "Jika kau gagal...berarti kau belum layak untuk menjadi seorang Alchemist," jawab sang instruktur.

Ia menatap tabung berisi cairan kemerahan yang diberikan oleh sang instruktur. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana jika ia gagal? Ia takkan bisa pergi ke Niflheim. Itu juga berarti ia tidak akan dapat membantu teman-temannya untuk melanjutkan perjuangan menghentikan Odin dan para Valkyrie-nya. Cyriel menuang larutan berwarna kemerahan itu ke sebuah gelas kimia dan mulai berpikir. Ia menutup matanya sejenak dan kemudian mengambil sebuah larutan lain dari atas mejanya. Ia menuangkannya perlahan dengan tangan gemetar. Ia tak boleh menumpahkan cairan itu sedikitpun. Kemudian, setelah seluruh cairan telah dicampur, ia mengaduknya perlahan dengan menggunakan sebuah sendok kaca.

"Kuharap pilihanku benar," kata Cyriel.

Instrukturnya menatap gelas kimianya sejenak, kemudian mengambilnya. "Kau ingin membuat larutan untuk melindungi senjata?" tanyanya. "Mm...ya, mungkin," jawab Cyriel. "Baiklah, kita akan mencobanya," kata sang instruktur.

Ia mengambil sebuah pedang tua yang sudah berkarat dan meletakkannya di lantai. Kemudian, ia membuka tutup gelas kimia yang merupakan hasil campuran milik Cyriel. "Siap?" tanyanya. Cyriel mengangguk perlahan. Sang instruktur mulai menuangkan larutan di dalam gelas kimia itu secara perlahan ke atas pedang tua itu. Terdengar suara desisan dari pedang. Pada awalnya, Cyriel mengira pedang itu akan hancur seketika, tapi ternyata tak terjadi apapun. "Kita akan mencoba memukul pedang ini," kata sang instruktur. Ia mengeluarkan sebuah kapak yang cukup besar. Cyriel yang merasa sedikit terkejut segera melangkah mundur dan menatap instrukturnya dari kejauhan. Terdengar suara yang keras saat kapak besar itu menyentuh pedang tua itu. Cyriel mendekati pedang itu perlahan. Ia berusaha melihat apa yang terjadi. Pedang itu tidak terbelah menjadi dua bagian, tetapi sebuah retakan kecil tercipta di salah satu sisi pedang itu.

"Jadi?" tanya Cyriel, "Apa aku gagal?"

Sang instruktur menatapnya dan tersenyum. "Larutan kimia buatanmu memang belum sempurna, tapi kau memiliki potensi untuk menyempurnakannya. Karena itu, kau dinyatakan lulus dari tes Alchemist," katanya. Cyriel tidak mempercayai pendengarannya. "Aku...lulus!?" katanya. Instrukturnya mengangguk dan melambaikan tangannya. Perlahan-lahan, kostum Cyriel berubah menjadi baju seorang Alchemist. Ia saku kirinya, terdapat beberapa gelas kimia tipis yang cukup mudah untuk dibawa. Di bagian dekat lehernya terdapat bulu-bulu yang membuatnya merasa hangat. Ia juga menyukai jubah kecil yang terdapat di punggungnya.

"Selamat...kau telah berhasil menempuh ujian untuk menjadi seorang Alchemist," kata sang instruktur.

Cyriel mengangguk dan tersenyum. "Apa kau akan menemui temanmu?" sang instruktur. "Ya. Mereka pasti sednag menungguku," jawab Cyriel. "Sudah kuduga. Aku bisa melihatnya, kau bukanlah orang yang dapat berdiri di garis depan, tapi kau adalah orang yang dapat membantu mereka yang kesulitan," kata sang instruktur. "Kenapa jadi terdengar seperti Priest?" kata Cyriel. "Maksudku, kau dapat membantu orang lain menggunakan kemampuan menciptakan dan menggunakan potion milikmu," kata sang instruktur. "Aku tak begitu mengerti, tapi terima kasih atas bantuanya," kata Cyriel.

Ia berdiri di hadapan Darlen yang sedang menunggu di tempat mereka bertemu sebelumnya. "Hai," kata Cyriel. "Hai," balas Darlen. "Aku harus pergi, tapi aku berusaha menepati janji untuk bertemu denganmu di sini," kata Cyriel tersenyum. "Ke mana kau akan pergi?" tanya Darlen. "Niflheim. Teman-temanku sedang menunggu, jadi aku tak punya banyak waktu," jawab Cyriel. "Apa kalian memerlukan seorang Blacksmith?" tanya Darlen. "Mungkin," jawab Cyriel. "Bagus. Kalau begitu aku akan ikut. Yah, anggap saja sebagai balas jasa karena telah menjadi temanku," kata Darlen. "Dasar...kau aneh juga...," kata Cyriel. "Apanya yang aneh?" tanya Darlen. "Kita kan baru saja kenal kemarin, tapi kau menganggapku sudah menjadi temanmu," kata Cyriel. "Boleh dong," kata Darlen jahil. "Iya, iya, kau boleh ikut. Tapi ingat, perjalanan ini sangat berbahaya," kata Cyriel. Darlen mengangguk. "Aku sudah sering menghadapi bahaya," katanya. Cyriel hanya tersenyum dan melangkah menuju pintu gerbang Aldebaran.

"Saatnya berangkat...ke Niflheim," katanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap Darlen. "Ayo," katanya. Ia telah menetapkan hatinya. Ia tahu bahwa ia mungkin takkan bisa kembali, tapi hal itu tak menghentikannya untuk menemui teman-temannya di Niflheim.