Cherlia berjalan menuju altar di tengah gereja. Seorang biarawan wanita berdiri di depan meja altar. Wanita itu jangkung dan terlihat cukup tua. Ia memegang sebuah kalung Rosary yang berwarna kebiruan. "Apakah kau siap?" tanya wanita biarawan itu. Cherlia mengangguk. Ia mengepalkan tangannya yang berkeringat. "Aku siap...," katanya. Cherlia mengikuti biarawan itu menuju sebuah pintu gerbang besar. "Di balik pintu ini menanti sebuah cobaan yang harus kau lalui," kata sang biarawan. Cherlia mendorong pintu itu perlahan-lahan dan melihat sebuah daerah yang gelap di balik pintu. "Tempat apa ini?" tanyanya sambil melihat ke belakang. Namun, tak ada yang menjawab. Sang biarawan telah menghilang bersama dengan bangunan gerejanya. Cherlia menghela napas. "Yah, no turning back...," katanya pada diri sendiri.
Ia berjalan melalui hutan yang gelap yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang entah apa namanya. Ia terus melihat sekeliling berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mengikutinya. Beberapa lama ia berjalan, ia melihat beberap makhluk yang berbentuk seperti mayat hidup. "Undead," pikirnya. Ia segera mendekati salah satu makhluk itu dan mengarahkan kedua telapak tangannya pada mereka. "Holy Light!" katanya. Beberapa makhluk sejenis lainnya mendekati Cherlia secara perlahan. "Signum Crucis!!" katanya, menggunakan sihir suci untuk mengurangi kemampuan pertahanan fisik sang monster. "Pneuma!" katanya, menggunakan sihir kepada dirinya sendiri. Ia merasakan kemampuannya meningkat pesat. "Holy Light!!" katanya lagi sambil mengarahkan tangan kepada monster di hadapannya. Ia terus berjalan sambil menggunakan sihir Ruwach untuk menghajar makhluk-makhluk di sekitarnya. Namun, ia mulai menyadari bahwa tak ada gunanya terus menghabisi mereka karena mereka akan terus berdatangan. "Increase Agility!!" katanya. Kakinya terasa begitu ringan dan ia dapat bergerak lebih cepat. Cherlia segera berlari menuju gerbang hitam yang berada beberapa meter di depannya dan segera melompat memasuki sebuah portal yang tampak seperti Warp Portal miliknya.
Perlahan-lahan, Cherlia membuka kelopak matanya. Ia dikelilingi oleh beberapa makhluk yang tampak transparan dan keputihan. "Di mana ini?" katanya. "Alam kematian," kata salah satu roh di sampingnya. "Apa kau ingin kembali...? Kau tak perlu menderita...," kata roh lainnya. "Bukan urusanmu," kata Cherlia. "Jika kau ingin kembali, gunakanlah ini," kata salah satu roh lainnya sambil meletakkan sebuah Holy Water di sebelah Cherlia. "Air suci ini akan menyucikan semua kejahatan di sekitarmu. Kau tak perlu melakukan ini sendirian, bukan?" katanya. "Diam...," kata Cherlia. Ia berusaha untuk tak mendengar perkataan roh-roh di sekitarnya. "Kalian hanyalah arwah orang mati...," kata Cherlia. "Bukankah kau ingin hidup...? Bukankah kau tak perlu penderitaan seperti ini...?" tanya roh di sebelah kirinya. "Ya, aku ingin hidup, tapi bukan berarti aku harus menghindari penderitaan...," kata Cherlia. Ia mengembalikan Holy Water di sebelahnya. "Aku tak bisa menggunakan ini," katanya. "Kau ingin terus bersama teman-temanmu, bukan? Ataukah kau lebih memilih mengambil jalan kematian seperti yang dilakukan Ardelle...?" kata sang roh. "Aku ingin bersama teman-temanku, tapi jika aku harus berkorban bagi mereka, aku akan melakukannya. Aku yakin Ardelle pasti melakukan semua ini demi kami semua!" kata Cherlia. Sebuah cahaya memancar dari dirinya dan sesaat kemudian, ia menyadari bahwa ia telah kembali ke depan altar tempat sang biarawan berdiri.
"Cherlia, anakku, apa kau yakin kau dapat menempuh jalan yang kau pilih ini?" tanya sang biarawan wanita. Cherlia mengangguk pasti. "Baiklah, aku dapat melihatnya di hatimu. Kau layak untuk menerima pemberkatn sebagai seorang Priest yang sesungguhnya. Dengan ini, kau harus bersumpah bahwa kau akan mmbantu sesama dalam kesulitan apapun," kata sang biarawan. "Ya, aku berjanji," kata Cherlia. Sang biarawan memberikan sebuah buku Bible berwarna hitam kebiruan ke tangan Cherlia. "May God bless you," katanya sambil meletakkan tanganya di kepala Cherlia. Cherlia memejamkan matanya dan merasakan kekuatannya meluap. Kekuatan suci di dalam dirinya meluap melebihi apapun yang penah ia rasakan.
Cherlia merasakan tubuhnya terbalut oleh pakaian seorang Priest yang berwarna ungu tua. Di bagian tengah bajunya terdapat sebuah simbol salib tipis yang begitu elegan. Ia merasakan rok panjang menutupi kakinya hingga hampir menyentuh lantai. Ia menggenggam Bible miliknya dan memberi hormat kepada sang biarawan wanita. "Bawalah berkat kepada sesamamu," kata sang biarawan sebelum Cherlia meninggalkan gereja. Ia melihat Jade berdiri di depan pintu gerbang gereja sambil mengenakan kostum Crusader-nya. Cherlia hanya tersenyum kepadanya. "Siap berangkat?" tanya Jade. "Ke?" tanya Cherlia. "Niflheim, kota orang mati. Jarred akan menunggu kita di sana," kata Jade. Cherlia mengangguk. "Niflheim dalah kota kegelapan. Kurasa kita takkan mendapat banyak kesulitan dengan kemampuan kita yang sekarang," kata Jade. "Yeah," jawab Cherlia.
Sementara itu, Sharlean sedang memasuki kota Geffen. Ia teringat kembali kata-kata Jarred sebelum memasuki kota. "Kami akan menuju ke Juno dan membantu Carish menjadi seorang Sage. Setelah kau selesai, pergilah ke Niflheim. Kurasa Jade dan Cherlia akan menunggumu di sana," kata Jarred. Sekarang, Sharlean benar-benar sendirian. Ia merasa cukup asing berada di kota ini meskipun kota Geffen adalah kota para penyihir yang cukup dikenal. Ia melihat menara yang cukup tinggi di tengah kota Geffen yang membuatnya teringat dengan menara di Midgard Academy. "Saatnya berangkat...," katanya pada diri sendiri.
Ia berdiri di depan menara Geffen dan membuka pintunya perlahan-lahan. Di dalamnya, bukan hanya para Mage yang menunggu, tetapi juga para Class lainnya seperti Blacksmith, Whitesmith, bahkan Crusader dan masih banyak lagi. Entah kenapa, hal ini disebabkan oleh beberapa orang pedagang yang lebih memilih berdagang di dalam menara. Sharlean tiba-tiba merasakan seseorang merogoh kantong celananya. "Maling!!" katanya sambil berusaha menangkap tangan orang itu. Ia gagal menangkapnya dan ia hanya melihat Thief itu berlari menuju lantai atas. "Hey!! Tunggu! Jangan lari!!" kata Sharlean. Ia mengejar sang Thief menuju lantai dua dan berusaha melihat sekeliling. Sang Thief sedang tersenyum ke arahnya sambil mengeluarkan Dagger miliknya. "Kau mau cari masalah denganku?" kata sang Thief. "Ya, siapa takut!" kata Sharlean sambil mengangkat tongkatnya. "Thunder Storm!!" teriaknya. Sambaran kilat gagal mengenai sang Thief, namun seseorang berhasil menahan gerakan sang Thief. Sharlean melihat seorang Monk yang sedang menggenggam bahu sang Thief. Monk itu segera memukul perut sang Thief dan membuatny terjatuh ke lantai. "Beres!" katanya. "Terima kasih," kata Sharlean. "Sama-sama. Kau harus lebih berhati-hati di daerah sini. Belakangan ini semakin banyak Thief dan Stalker jahat yang berkeliaran," kata sang Monk. "Ya, aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku Sharlean. Kau?" katanya. Sang Monk membuka kerudung yang menutupi kepalanya. "Hansen. Senang bertemu denganmu," katanya.
Hansen menawarkan diri untuk membantu Sharlean mencapai lantai atas. Menurutnya, sangat tidak aman menaiki menara sendirian pada saat-saat seperti itu. "Dulu Geffen tidak seperti ini. Entah kenapa, para Thief mulai mencari mangsa di daerah ini. Memang tidak semua Thief bermaksud jahat, tapi kita harus tetap waspada," kata Hansen. Sharlean tertawa melihat Hansen berbicara dengan nada sangat serius seperti sedang membicarakan rahasia negara. "Yah, pokoknya hati-hati," katanya. "Apa kau dari Midgard Academy?" tanya Hansen tiba-tiba. Sharlean mengangguk dengan wajah penasaran. "Dulu aku juga belajar di tempat itu, tapi aku pindah ke sini tepat satu hari setelah menjadi Monk," kata Hansen. Mereka terus berjalan melalui banyak anak tangga. "Midgard Academy sudah tidak ada lagi," kata Sharlean dengan nada sedih. Hansen menatapnya. Sharlean yang segera mengerti maksud tatapannya itu segera menjelaskan tentang apa yang terjadi di Prontera beberapa hari yang lalu. "Ardelle mengorbankan dirinya dengn menggunakan sihir terbesar," katanya. "Apa dia masih hidup?" tanya Hansen. "Aku tidak tahu. Kemungkinan besar ia tewas dalam ledakan itu," kata Sharlean dengan wajah sedih.
"Nah, kita sudah sampai di lantai paling atas. Kau siap?" tanya Hansen. "Ya, terima kasih," kata Sharlean. "Oke, aku akan menunggu di sini. Cepat temui petugas Wizard di sana," kata Hansen sambil menunjuk seorang petugas yang tampak berwibawa. Sharlean mengangguk dan tersenyum.
Ia berjalan melalui hutan yang gelap yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang entah apa namanya. Ia terus melihat sekeliling berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mengikutinya. Beberapa lama ia berjalan, ia melihat beberap makhluk yang berbentuk seperti mayat hidup. "Undead," pikirnya. Ia segera mendekati salah satu makhluk itu dan mengarahkan kedua telapak tangannya pada mereka. "Holy Light!" katanya. Beberapa makhluk sejenis lainnya mendekati Cherlia secara perlahan. "Signum Crucis!!" katanya, menggunakan sihir suci untuk mengurangi kemampuan pertahanan fisik sang monster. "Pneuma!" katanya, menggunakan sihir kepada dirinya sendiri. Ia merasakan kemampuannya meningkat pesat. "Holy Light!!" katanya lagi sambil mengarahkan tangan kepada monster di hadapannya. Ia terus berjalan sambil menggunakan sihir Ruwach untuk menghajar makhluk-makhluk di sekitarnya. Namun, ia mulai menyadari bahwa tak ada gunanya terus menghabisi mereka karena mereka akan terus berdatangan. "Increase Agility!!" katanya. Kakinya terasa begitu ringan dan ia dapat bergerak lebih cepat. Cherlia segera berlari menuju gerbang hitam yang berada beberapa meter di depannya dan segera melompat memasuki sebuah portal yang tampak seperti Warp Portal miliknya.
Perlahan-lahan, Cherlia membuka kelopak matanya. Ia dikelilingi oleh beberapa makhluk yang tampak transparan dan keputihan. "Di mana ini?" katanya. "Alam kematian," kata salah satu roh di sampingnya. "Apa kau ingin kembali...? Kau tak perlu menderita...," kata roh lainnya. "Bukan urusanmu," kata Cherlia. "Jika kau ingin kembali, gunakanlah ini," kata salah satu roh lainnya sambil meletakkan sebuah Holy Water di sebelah Cherlia. "Air suci ini akan menyucikan semua kejahatan di sekitarmu. Kau tak perlu melakukan ini sendirian, bukan?" katanya. "Diam...," kata Cherlia. Ia berusaha untuk tak mendengar perkataan roh-roh di sekitarnya. "Kalian hanyalah arwah orang mati...," kata Cherlia. "Bukankah kau ingin hidup...? Bukankah kau tak perlu penderitaan seperti ini...?" tanya roh di sebelah kirinya. "Ya, aku ingin hidup, tapi bukan berarti aku harus menghindari penderitaan...," kata Cherlia. Ia mengembalikan Holy Water di sebelahnya. "Aku tak bisa menggunakan ini," katanya. "Kau ingin terus bersama teman-temanmu, bukan? Ataukah kau lebih memilih mengambil jalan kematian seperti yang dilakukan Ardelle...?" kata sang roh. "Aku ingin bersama teman-temanku, tapi jika aku harus berkorban bagi mereka, aku akan melakukannya. Aku yakin Ardelle pasti melakukan semua ini demi kami semua!" kata Cherlia. Sebuah cahaya memancar dari dirinya dan sesaat kemudian, ia menyadari bahwa ia telah kembali ke depan altar tempat sang biarawan berdiri.
"Cherlia, anakku, apa kau yakin kau dapat menempuh jalan yang kau pilih ini?" tanya sang biarawan wanita. Cherlia mengangguk pasti. "Baiklah, aku dapat melihatnya di hatimu. Kau layak untuk menerima pemberkatn sebagai seorang Priest yang sesungguhnya. Dengan ini, kau harus bersumpah bahwa kau akan mmbantu sesama dalam kesulitan apapun," kata sang biarawan. "Ya, aku berjanji," kata Cherlia. Sang biarawan memberikan sebuah buku Bible berwarna hitam kebiruan ke tangan Cherlia. "May God bless you," katanya sambil meletakkan tanganya di kepala Cherlia. Cherlia memejamkan matanya dan merasakan kekuatannya meluap. Kekuatan suci di dalam dirinya meluap melebihi apapun yang penah ia rasakan.
Cherlia merasakan tubuhnya terbalut oleh pakaian seorang Priest yang berwarna ungu tua. Di bagian tengah bajunya terdapat sebuah simbol salib tipis yang begitu elegan. Ia merasakan rok panjang menutupi kakinya hingga hampir menyentuh lantai. Ia menggenggam Bible miliknya dan memberi hormat kepada sang biarawan wanita. "Bawalah berkat kepada sesamamu," kata sang biarawan sebelum Cherlia meninggalkan gereja. Ia melihat Jade berdiri di depan pintu gerbang gereja sambil mengenakan kostum Crusader-nya. Cherlia hanya tersenyum kepadanya. "Siap berangkat?" tanya Jade. "Ke?" tanya Cherlia. "Niflheim, kota orang mati. Jarred akan menunggu kita di sana," kata Jade. Cherlia mengangguk. "Niflheim dalah kota kegelapan. Kurasa kita takkan mendapat banyak kesulitan dengan kemampuan kita yang sekarang," kata Jade. "Yeah," jawab Cherlia.
***
Sementara itu, Sharlean sedang memasuki kota Geffen. Ia teringat kembali kata-kata Jarred sebelum memasuki kota. "Kami akan menuju ke Juno dan membantu Carish menjadi seorang Sage. Setelah kau selesai, pergilah ke Niflheim. Kurasa Jade dan Cherlia akan menunggumu di sana," kata Jarred. Sekarang, Sharlean benar-benar sendirian. Ia merasa cukup asing berada di kota ini meskipun kota Geffen adalah kota para penyihir yang cukup dikenal. Ia melihat menara yang cukup tinggi di tengah kota Geffen yang membuatnya teringat dengan menara di Midgard Academy. "Saatnya berangkat...," katanya pada diri sendiri.
Ia berdiri di depan menara Geffen dan membuka pintunya perlahan-lahan. Di dalamnya, bukan hanya para Mage yang menunggu, tetapi juga para Class lainnya seperti Blacksmith, Whitesmith, bahkan Crusader dan masih banyak lagi. Entah kenapa, hal ini disebabkan oleh beberapa orang pedagang yang lebih memilih berdagang di dalam menara. Sharlean tiba-tiba merasakan seseorang merogoh kantong celananya. "Maling!!" katanya sambil berusaha menangkap tangan orang itu. Ia gagal menangkapnya dan ia hanya melihat Thief itu berlari menuju lantai atas. "Hey!! Tunggu! Jangan lari!!" kata Sharlean. Ia mengejar sang Thief menuju lantai dua dan berusaha melihat sekeliling. Sang Thief sedang tersenyum ke arahnya sambil mengeluarkan Dagger miliknya. "Kau mau cari masalah denganku?" kata sang Thief. "Ya, siapa takut!" kata Sharlean sambil mengangkat tongkatnya. "Thunder Storm!!" teriaknya. Sambaran kilat gagal mengenai sang Thief, namun seseorang berhasil menahan gerakan sang Thief. Sharlean melihat seorang Monk yang sedang menggenggam bahu sang Thief. Monk itu segera memukul perut sang Thief dan membuatny terjatuh ke lantai. "Beres!" katanya. "Terima kasih," kata Sharlean. "Sama-sama. Kau harus lebih berhati-hati di daerah sini. Belakangan ini semakin banyak Thief dan Stalker jahat yang berkeliaran," kata sang Monk. "Ya, aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku Sharlean. Kau?" katanya. Sang Monk membuka kerudung yang menutupi kepalanya. "Hansen. Senang bertemu denganmu," katanya.
Hansen menawarkan diri untuk membantu Sharlean mencapai lantai atas. Menurutnya, sangat tidak aman menaiki menara sendirian pada saat-saat seperti itu. "Dulu Geffen tidak seperti ini. Entah kenapa, para Thief mulai mencari mangsa di daerah ini. Memang tidak semua Thief bermaksud jahat, tapi kita harus tetap waspada," kata Hansen. Sharlean tertawa melihat Hansen berbicara dengan nada sangat serius seperti sedang membicarakan rahasia negara. "Yah, pokoknya hati-hati," katanya. "Apa kau dari Midgard Academy?" tanya Hansen tiba-tiba. Sharlean mengangguk dengan wajah penasaran. "Dulu aku juga belajar di tempat itu, tapi aku pindah ke sini tepat satu hari setelah menjadi Monk," kata Hansen. Mereka terus berjalan melalui banyak anak tangga. "Midgard Academy sudah tidak ada lagi," kata Sharlean dengan nada sedih. Hansen menatapnya. Sharlean yang segera mengerti maksud tatapannya itu segera menjelaskan tentang apa yang terjadi di Prontera beberapa hari yang lalu. "Ardelle mengorbankan dirinya dengn menggunakan sihir terbesar," katanya. "Apa dia masih hidup?" tanya Hansen. "Aku tidak tahu. Kemungkinan besar ia tewas dalam ledakan itu," kata Sharlean dengan wajah sedih.
"Nah, kita sudah sampai di lantai paling atas. Kau siap?" tanya Hansen. "Ya, terima kasih," kata Sharlean. "Oke, aku akan menunggu di sini. Cepat temui petugas Wizard di sana," kata Hansen sambil menunjuk seorang petugas yang tampak berwibawa. Sharlean mengangguk dan tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar