Sharlean memasuki menara tempat ia berubah menjadi Wizard. Menara itu telah terbakar, meskipun masih ada beberapa bagian yang masih selamat. Ia melihat Hansen termenung di salah satu sisi ruangan. "Tak bisakah kita berangkat ke Niflheim sekarang juga?" kata Carish. Sharlean menggelengkan kepalanya. "Belum. Kita harus menunggunya," kata Sharlean sambil menatap Hansen. Carish mengangguk. Ia membuka pintu menara dan menatap keadaan kota yang hancur berantakan akibat pertempuran yang baru saja terjadi. "Bagaimana dengan Jarred?" tanya Carish dengan wajah kuatir. "Kurasa dia sudah menuju Niflheim," jawab Sharlean.
Sementara itu, Hansen berdiri dan mengangguk pada Sharlean. Mereka segera mengikutinya meninggalkan menara. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," jawab Sharlean. Ia berjalan menuruni tangga baru di depan menara dan terus menuju gerbang selatan Geffen.
Cyriel sedang berjalan mengelilingi kota. Kota Aldebaran tampak begitu tenang di sore hari. Lampu-lampu jalan di seluruh bagian kota mulai dinyalakan. "Kurasa akan kulanjutkan besok saja," pikir Cyriel. Ia menuju ke sebuah penginapan dan memesan kamar untuk bermalam. Setelah itu, ia memutuskan untuk melihat keadaan sekitar kota. Kota Aldebaran dihuni oleh penduduk yang cukup banyak. Ia telah mendengar dari Jarred bahwa ia harus bertemu dengan seorang instruktur di rumah di sebelah barat daya kota. Kota itu cukup luas sehingga cukup sulit menemukan rumah yang dimaksudkan oleh Jarred. Cyriel duduk di bawah sebuah pohon sambil mengeluarkan barang dagangannya.
Saat itu, seorang Blacksmith pria mendatanginya. "Boleh aku ikut berjualan di sini?" tanyanya. Cyriel mengangguk. Pria itu mengeluarkan sejumlah senjata yang terdiri dari pedang satu tangan, pedang dua tangan, kapak, dan beberapa tongkat sihir yang beraneka ragam. "Kau sering membuat senjata?" tanya Cyriel. "Nggak juga. Aku cuma menyukai pekerjaan yang membutuhkan tenaga," kata pria itu. "Perkenalkan, namaku Darlen, Blacksmith," katanya. "Cyriel, Merchant," balas Cyriel. Darlen duduk di sebelahnya sambil merapikan dagangannya. "Aku juga membuka jasa penempaan senjata," katanya tersenyum. Cyriel tak berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. "Apa kau dalam perjalanan?" tanya Darlen tiba-tiba. "Ya. Aku ke sini hanya untuk menjadi seorang Alchemist," kata Cyriel. " Perjalanan ke mana?" tanya Darlen. "Niflheim," jawab Cyriel singkat. "City of the Dead? Kau yakin mau ke tempat terkutuk itu?" tanya Darlen. "Ya. Aku tak punya pilihan lain. Ragnarok semakin dekat, dan aku harus menjadi lebih kuat sebelum hal itu terjadi," kata Cyriel. Ia tahu bahwa sudah banyak orang yang mengetahui tentang Ragnarok, jadi ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikannya. "Kau berniat ikut dalam perang Ragnarok?" tanya Darlen. "Yeah," jawab Cyriel.
"Ini untukmu," kata Darlen tiba-tiba. Ia memberikan sebuah kapak yang cukup besar pada Cyriel. "Jika kau sudah menjadi Alchemist, kau pasti akan membutuhkannya," katanya. Cyriel mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih," katanya.
Hari semakin gelap dan dingin. Bintang-bintang mulai terlihat di langit yang berwarna hitam kebiruan. "Aku harus kembali sekarang," kata Cyriel. "Baiklah, perlu kutemani?" tanya Darlen. "No, thanks," katanya sambil tertawa. "Apa besok kau akan kembali ke sini?" tanya Darlen. "Mungkin. Tapi aku harus mengikuti pelatihan Alchemist secepatnya, jadi mungkin aku akan ke sini setelah aku selesai," kata Cyriel. "Oke," jawab Darlen.
Cyriel bermimpi tentang suatu tmpat yang gelap. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tak memiliki daun dan hanya terdapat beberapa rumah di tempat itu. "Niflheim...," pikirnya. Kota itu tampak suram. Tak sedikitpun cahaya matahari yang terlihat di tempat itu. Ia melihat beberapa makhluk berkeliaran di sekitar kota dan menyerang makhluk yang memasuki kota tanpa pandang bulu. Cyriel terdiam sejenak saat ia melihat dua orang yang sedang berjalan sambil menghabisi monster-monster di sekelilingnya. Ia mengenali kedua sosok itu. Yang pertama, seseorang yag dulu pernah menghajarnya...Jade. Hanya saja ia memakai kostum Crusader, bukan Swordman. Di sebelahnya, berdirilah Cherlia yang sudah menjadi seorang Priest. Ia dengan mudah menggunakan sihir Heal nya untuk menghabisi musuh-musuh yang berusaha menyerang.
Saat Cyriel membuka mata, matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Ia dapat melihat cahaya yang terpancar dari luar jendela kamarnya. "Saatnya pergi," katanya pada diri sendiri.
Sementara itu, Hansen berdiri dan mengangguk pada Sharlean. Mereka segera mengikutinya meninggalkan menara. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," jawab Sharlean. Ia berjalan menuruni tangga baru di depan menara dan terus menuju gerbang selatan Geffen.
***
Cyriel sedang berjalan mengelilingi kota. Kota Aldebaran tampak begitu tenang di sore hari. Lampu-lampu jalan di seluruh bagian kota mulai dinyalakan. "Kurasa akan kulanjutkan besok saja," pikir Cyriel. Ia menuju ke sebuah penginapan dan memesan kamar untuk bermalam. Setelah itu, ia memutuskan untuk melihat keadaan sekitar kota. Kota Aldebaran dihuni oleh penduduk yang cukup banyak. Ia telah mendengar dari Jarred bahwa ia harus bertemu dengan seorang instruktur di rumah di sebelah barat daya kota. Kota itu cukup luas sehingga cukup sulit menemukan rumah yang dimaksudkan oleh Jarred. Cyriel duduk di bawah sebuah pohon sambil mengeluarkan barang dagangannya.
Saat itu, seorang Blacksmith pria mendatanginya. "Boleh aku ikut berjualan di sini?" tanyanya. Cyriel mengangguk. Pria itu mengeluarkan sejumlah senjata yang terdiri dari pedang satu tangan, pedang dua tangan, kapak, dan beberapa tongkat sihir yang beraneka ragam. "Kau sering membuat senjata?" tanya Cyriel. "Nggak juga. Aku cuma menyukai pekerjaan yang membutuhkan tenaga," kata pria itu. "Perkenalkan, namaku Darlen, Blacksmith," katanya. "Cyriel, Merchant," balas Cyriel. Darlen duduk di sebelahnya sambil merapikan dagangannya. "Aku juga membuka jasa penempaan senjata," katanya tersenyum. Cyriel tak berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. "Apa kau dalam perjalanan?" tanya Darlen tiba-tiba. "Ya. Aku ke sini hanya untuk menjadi seorang Alchemist," kata Cyriel. " Perjalanan ke mana?" tanya Darlen. "Niflheim," jawab Cyriel singkat. "City of the Dead? Kau yakin mau ke tempat terkutuk itu?" tanya Darlen. "Ya. Aku tak punya pilihan lain. Ragnarok semakin dekat, dan aku harus menjadi lebih kuat sebelum hal itu terjadi," kata Cyriel. Ia tahu bahwa sudah banyak orang yang mengetahui tentang Ragnarok, jadi ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikannya. "Kau berniat ikut dalam perang Ragnarok?" tanya Darlen. "Yeah," jawab Cyriel.
"Ini untukmu," kata Darlen tiba-tiba. Ia memberikan sebuah kapak yang cukup besar pada Cyriel. "Jika kau sudah menjadi Alchemist, kau pasti akan membutuhkannya," katanya. Cyriel mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih," katanya.
Hari semakin gelap dan dingin. Bintang-bintang mulai terlihat di langit yang berwarna hitam kebiruan. "Aku harus kembali sekarang," kata Cyriel. "Baiklah, perlu kutemani?" tanya Darlen. "No, thanks," katanya sambil tertawa. "Apa besok kau akan kembali ke sini?" tanya Darlen. "Mungkin. Tapi aku harus mengikuti pelatihan Alchemist secepatnya, jadi mungkin aku akan ke sini setelah aku selesai," kata Cyriel. "Oke," jawab Darlen.
Cyriel bermimpi tentang suatu tmpat yang gelap. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tak memiliki daun dan hanya terdapat beberapa rumah di tempat itu. "Niflheim...," pikirnya. Kota itu tampak suram. Tak sedikitpun cahaya matahari yang terlihat di tempat itu. Ia melihat beberapa makhluk berkeliaran di sekitar kota dan menyerang makhluk yang memasuki kota tanpa pandang bulu. Cyriel terdiam sejenak saat ia melihat dua orang yang sedang berjalan sambil menghabisi monster-monster di sekelilingnya. Ia mengenali kedua sosok itu. Yang pertama, seseorang yag dulu pernah menghajarnya...Jade. Hanya saja ia memakai kostum Crusader, bukan Swordman. Di sebelahnya, berdirilah Cherlia yang sudah menjadi seorang Priest. Ia dengan mudah menggunakan sihir Heal nya untuk menghabisi musuh-musuh yang berusaha menyerang.
Saat Cyriel membuka mata, matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Ia dapat melihat cahaya yang terpancar dari luar jendela kamarnya. "Saatnya pergi," katanya pada diri sendiri.