Minggu, Desember 28, 2008

RO Fanfic 13

Sharlean memasuki menara tempat ia berubah menjadi Wizard. Menara itu telah terbakar, meskipun masih ada beberapa bagian yang masih selamat. Ia melihat Hansen termenung di salah satu sisi ruangan. "Tak bisakah kita berangkat ke Niflheim sekarang juga?" kata Carish. Sharlean menggelengkan kepalanya. "Belum. Kita harus menunggunya," kata Sharlean sambil menatap Hansen. Carish mengangguk. Ia membuka pintu menara dan menatap keadaan kota yang hancur berantakan akibat pertempuran yang baru saja terjadi. "Bagaimana dengan Jarred?" tanya Carish dengan wajah kuatir. "Kurasa dia sudah menuju Niflheim," jawab Sharlean.

Sementara itu, Hansen berdiri dan mengangguk pada Sharlean. Mereka segera mengikutinya meninggalkan menara. "Sudah siap?" tanyanya. "Ya," jawab Sharlean. Ia berjalan menuruni tangga baru di depan menara dan terus menuju gerbang selatan Geffen.

***

Cyriel sedang berjalan mengelilingi kota. Kota Aldebaran tampak begitu tenang di sore hari. Lampu-lampu jalan di seluruh bagian kota mulai dinyalakan. "Kurasa akan kulanjutkan besok saja," pikir Cyriel. Ia menuju ke sebuah penginapan dan memesan kamar untuk bermalam. Setelah itu, ia memutuskan untuk melihat keadaan sekitar kota. Kota Aldebaran dihuni oleh penduduk yang cukup banyak. Ia telah mendengar dari Jarred bahwa ia harus bertemu dengan seorang instruktur di rumah di sebelah barat daya kota. Kota itu cukup luas sehingga cukup sulit menemukan rumah yang dimaksudkan oleh Jarred. Cyriel duduk di bawah sebuah pohon sambil mengeluarkan barang dagangannya.

Saat itu, seorang Blacksmith pria mendatanginya. "Boleh aku ikut berjualan di sini?" tanyanya. Cyriel mengangguk. Pria itu mengeluarkan sejumlah senjata yang terdiri dari pedang satu tangan, pedang dua tangan, kapak, dan beberapa tongkat sihir yang beraneka ragam. "Kau sering membuat senjata?" tanya Cyriel. "Nggak juga. Aku cuma menyukai pekerjaan yang membutuhkan tenaga," kata pria itu. "Perkenalkan, namaku Darlen, Blacksmith," katanya. "Cyriel, Merchant," balas Cyriel. Darlen duduk di sebelahnya sambil merapikan dagangannya. "Aku juga membuka jasa penempaan senjata," katanya tersenyum. Cyriel tak berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. "Apa kau dalam perjalanan?" tanya Darlen tiba-tiba. "Ya. Aku ke sini hanya untuk menjadi seorang Alchemist," kata Cyriel. " Perjalanan ke mana?" tanya Darlen. "Niflheim," jawab Cyriel singkat. "City of the Dead? Kau yakin mau ke tempat terkutuk itu?" tanya Darlen. "Ya. Aku tak punya pilihan lain. Ragnarok semakin dekat, dan aku harus menjadi lebih kuat sebelum hal itu terjadi," kata Cyriel. Ia tahu bahwa sudah banyak orang yang mengetahui tentang Ragnarok, jadi ia tak memiliki alasan untuk menyembunyikannya. "Kau berniat ikut dalam perang Ragnarok?" tanya Darlen. "Yeah," jawab Cyriel.

"Ini untukmu," kata Darlen tiba-tiba. Ia memberikan sebuah kapak yang cukup besar pada Cyriel. "Jika kau sudah menjadi Alchemist, kau pasti akan membutuhkannya," katanya. Cyriel mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih," katanya.

Hari semakin gelap dan dingin. Bintang-bintang mulai terlihat di langit yang berwarna hitam kebiruan. "Aku harus kembali sekarang," kata Cyriel. "Baiklah, perlu kutemani?" tanya Darlen. "No, thanks," katanya sambil tertawa. "Apa besok kau akan kembali ke sini?" tanya Darlen. "Mungkin. Tapi aku harus mengikuti pelatihan Alchemist secepatnya, jadi mungkin aku akan ke sini setelah aku selesai," kata Cyriel. "Oke," jawab Darlen.

Cyriel bermimpi tentang suatu tmpat yang gelap. Tempat itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tak memiliki daun dan hanya terdapat beberapa rumah di tempat itu. "Niflheim...," pikirnya. Kota itu tampak suram. Tak sedikitpun cahaya matahari yang terlihat di tempat itu. Ia melihat beberapa makhluk berkeliaran di sekitar kota dan menyerang makhluk yang memasuki kota tanpa pandang bulu. Cyriel terdiam sejenak saat ia melihat dua orang yang sedang berjalan sambil menghabisi monster-monster di sekelilingnya. Ia mengenali kedua sosok itu. Yang pertama, seseorang yag dulu pernah menghajarnya...Jade. Hanya saja ia memakai kostum Crusader, bukan Swordman. Di sebelahnya, berdirilah Cherlia yang sudah menjadi seorang Priest. Ia dengan mudah menggunakan sihir Heal nya untuk menghabisi musuh-musuh yang berusaha menyerang.

Saat Cyriel membuka mata, matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Ia dapat melihat cahaya yang terpancar dari luar jendela kamarnya. "Saatnya pergi," katanya pada diri sendiri.

Rabu, Desember 17, 2008

RO Fanfic 12

Chapter 5: "Lord of Vermillion"

Sharlean berusaha menghindari serangan dari Arsean. Ia terus menggunakan sihir Meteor Storm miliknya, namun Arsean terus berhasil menghindarinya. "Coin Fling!" teriak Arsean sambil melemparkan sebuah koin yang telah diberi unsur sihir. Koin itu tepat mengenai perut Sharlean dan membuat kekuatan pertahanannya semakin rendah. Sharlean berusaha tidak memikirkannya dan terus mendekati Arsean sambil menggunakan sihir Thunder Storm dan Meteor Storm berkali-kali dengan harapan bahwa Arsean akan terkecoh oleh ledakan yang bertubi-tubi. Ia sudah cukup dekat. Ia dapat melihat Arsean di dalam asap sisa ledakan. Sharlean segera melakukan gerakan cepat dan mengarahkan tongkatnya pada Arsean. Tiba-tiba, Arsean berbalik ke arahnya dan menekan pelatuk pistolnya. "Disarm," katanya. Sebuah peluru kekuningan meluncur dari laras pistolnya dan mengenai tongkat yang sedang digenggam oleh Sharlean. Tekanan yang dihasilkan peluru itu sangat besar sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya.

"Usahamu sia-sia," kata Arsean sambil tersenyum licik. Sharlean menatap sebuah luka di tangannya akibat tergores saat peluru itu mengenai tongkatnya. Carish menyentakkan tongkatnya ke tanah dan menciptakan bebatuan di tanah di bawah kaki Arsean. Arsean terkena pukulan dari tanah beberapa kali, membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan dan memberi kesempatan bagi Hansen untuk melesat dan memukul perut Arsean beberapa kali. Arsean tampak kesakitan dan marah. "Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah ya?" katanya sambil membidikkan salah satu pistolnya ke arah Hansen. "Piercing Shot!"

Terdengar suara desingan peluru yang menembus tubuh Hansen dan membuatnya terjatuh berlutut. Peluru itu berhasil mengenai bahu kirinya dan membuat lubang yang cukup besar. Darah terus menetes dari lukanya, tapi ia berusaha untuk berdiri. "Bodoh," kata Arsean sambil berjalan mendekati Carish dan Hansen. "Kalian akan merasakan penderitaan lebih banyak lagi...Desperado!" katanya. Ia memutar kedua pistolnya beberapa kali dan selama itu, ia terus menekan pelatuknya berkali-kali sehingga bberapa peluru meluncur ke daerah sekitarnya. Carish telah berusaha sekuat tenaga untuk menghindari tembakannya, namun Arsean terlalu cepat baginya. Peluru-peluru yang menyebar berhasil melukai Carish dan Hansen. Hansen berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak terjatuh ke tanah. Ia terus menggumamkan sesuatu, disusul dengan munculnya beberapa spirit yang tampak seperti benda bulat yang mlayang di sekeliling tubuhnya. "Kita akan lihat...siapakah yang bodoh...Finger Offensive!!" teriaknya sambil berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya. Lima buah spirit segera meluncur tepat setelah ia mengarahkan jarinya pada Arsean. Kelima spirit itu meluncur lebih cepat dari peluru dan menghantam tubuh Arsean sebanyak lima kali berturut-turut. "Sharlean! Sekarang ambil tongkatmu!!" kata Hansen sambil memanggil lima spirit lainnya dan menggunakannya untuk menghantam Arsean sekali lagi. Sharlean yang sudah berhasil berdiri segera melompat ke arah tongkatnya dan mengambilnya. Setelah ia berhasil menyentuh tongkatnya, ia mengangkatnya tinggi-tinggi dan menutup matanya. Ia yakin bahwa Hansen dan Carish akan mampu untuk menahan Arsean selama ia berkonsentrasi.

"Vermillion...warna merah yang menunjukkan kehancuran...," pikirnya. Ia teringat pada perkataan instrukturnya: "Lord of Vermillion bukan hanya sekedar sihir, melainkan juga pengetahuan..."

"Pengetahuan...pengetahuan akan sihir akan membawa entah kehancuran atau kedamaian," kata Sharlean pada dirinya sendiri. Ia merasakan pengetahuannya masih kurang untuk mengerti segala hal di sekitarnya. "Aku...akan mencari sendiri arti dari Vermillion," kata Sharlean. Ia merasa jantungnya berdegup semakin cepat dan kekuatannya bergejolak. Namun yang ia rasakan bukanlah kemarahan, tapi keberanian. "Merah...merah adlah keberanian dalam diri masing-masing Wizard," pikir Sharlean. Ia tidak begitu yakin, tapi ia akan mencari tahu sendiri. "Sekarang, tunjukkan kekuatanmu...," kata Sharlean sambil membuka matanya perlahan dan menatap ke arah Arsean. Hansen tahu bahwa sudah waktunya bagi dirinya dan Carish untuk menyingkir. Carish segera berlari ke belakang dan Hansen berlari ke sebelah Sharlean. Sharlean membuka mulutnya sambil mengangkat tongkat sihirnya. "Lord of Vermillion!!"

Dua buah petir besar menyambar ke sekitar Arsean dan dilanjutkan dengan ledakan yang terjadi beberapa kali. Carish hanya bisa menatap ledakan yang tampak seperti meteor yang menghantam permukaan tanah berkali-kali. Ledakan itu terus berlanjut dan disusul dengan sambaran petir lain yang membuat tubuh Arsean tidak dapat keluar dari area ledakan. Sharlean menatap ledakan itu. Ia merasakan ada energi yang mengelilingi area ledakan, energi yang membuat kekuatan sihir berkumpul dan menciptakan ledakan berkali-kali lebih besar dari yang pernah dilakukannya.

Carish berjalan mendekati Sharlean. "Sihir bukanlah segalanya, kan? Perasaanmulah yang menciptakan sihir ini. Perasaanmu juga yang menghasilkan energi itu. Banyak hal yang tak dapat dijelaskan...dan itu lebih daripada sihir," katanya. "Maksudmu?" tanya Sharlean. Carish mengangkat bahunya. "Aneh...," kata Sharlean.

Tubuh Arsean berlumuran darah dari luka-lukanya. Ia terjatuh perlahan dan memutuskan untuk berhenti bertempur. "Kalian memang lebih hebat dari dugaanku," katanya tersenyum lemah. Sharlean tidak berkata apa-apa. Ia berjalan mendekati Arsean dan mengarahkan tongkatnya pada wajah Arsean. "Kau ingin membunuhku?" kata Arsean. "Silakan, kami para Valkyrie takkan mati hanya karena serangan yang dilakukan manusia," lanjutnya. "Katakanlah pada Odin bahwa kami akan menunggunya untuk bertempur di dalam pertempuran yang tak terhindarkan," kata Sharlean setelah beberapa saat ia terdiam. "Ragnarok...," gumam Carish.
Sharlean melangkah pergi meninggalkan Arsean yang masih merintih kesakitan.

***

"Ke mana kalian akan pergi sekarang?" tanya Hansen sambil menatap Sharlean. "Niflheim. Kami berjanji untuk bertemu dengan yang lain di tempat itu," jawab Sharlean. "Niflheim, City of the Dead," kata Hansen. Sharlean mengangguk. "Boleh aku ikut?" tanya Hansen tiba-tiba, "Aku juga ada sedikit urusan dengan Odin, jadi kurasa aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan Odin sendiri. Dan kurasa kalian akan mampu untuk melakukannya." Sharlean menatap Carish. Carish mengangguk. "Baiklah. Kurasa kami akan membutuhkanmu suatu saat nanti...you're a pretty good fighter," kata Sharlean. "Thanks," balas Hansen.

Sementara itu, seseorang sedang mengamati mereka dari dalam bayangan gelap. "Mereka akan berangkat ke Niflheim, huh? Kurasa sudah waktunya berangkat. Ya kan...Shera Mithel sang Stalker?" tanya seorang pemuda berambut spiky berwarna kecoklatan. Shera Mithel yang berada di belakangnya mengangguk dan tersenyum sambil menggenggam dagger miliknya. "Kurasa aku akan mendapat kesempatan untuk balas dendam pada pria yang telah membunuh partnerku...Argus Wintold sang Assassin," kata Shera. "Ya, kematian Argus harus dibalas. Dan kurasa kau adalah orang yang tepat untuk melakukannya, terutama karena kita berhasil bertemu dengan kekasih orang yang membunuh Argus," kata pria berambut coklat itu. "Ya. Carish, kau akan menjadi umpan terbaik untuk memancing Jarred sang Assassin," kata Shera sambil tertawa. "Sebentar lagi...," katanya.

Kamis, Desember 11, 2008

RO Fanfic 11

Sharlean memasuki sebuah arena pertempuran. Ia hanya diizinkan untuk menghabisi semua monster dengan menggunakan sihirnya. Sang penyihir senior yang tampak berwibawa mengangguk saat Sharlean menatap ke arahnya. "Mulai," katanya lantang. Sharlean menggenggam erat tongkat sihirnya yang terbuat dari kayu oak yang memiliki pegangan yang telah dihaluskan. Perlahan-lahan, puluhan monster dengan tubuh ditutupi es mendekatinya. "Kau tahu apa yang harus dilakukan...," kata sang penyihir senior.

"Es...," kata Sharlean mencoba mengingat-ingat pelajarannya di Midgard Academy. Ia teringat kepada pesan Ardelle saat ia pertama kali menggunakan sihir, "Saat kau melawan musuh yang lebih kuat darimu, carilah kelemahannya. Tak ada satu makhluk pun yang tak memiliki kelemahan. Bahkan setan Baphomet pun memiliki titik lemah." Sharlean tak ingin membayangkan bertemu dengan Baphomet sang iblis, namun ia terus mengingat perkataan Ardelle. "Es memiliki unsur air. Air sangat lemah kepada petir yang memiliki unsur yang 180 derajat berlawanan...," katanya pada diri sendiri. Monster bertubuh es itu semakin mendekat dan mengangkat tangannya untuk memukul Sharlean. "Lightning Bolt!!" katanya. Kilatan petir menyambar tubuh sang monster es dan membuatnya terdiam selama beberapa saat. "Thunder Storm!!" katanya lagi sambil mengeluarkan sihir untuk menghabisi monster itu. Beberapa monster dengan unsur yang berbeda terus berdatangan. Sharlean segera menggunakan sihir api Fire Bolt untuk monster tanaman karena tubuh tanaman sangat lemah terhadap api yang membara.

Sharlean menatap sang penyihir senior yang menjadi instrukturnya. Ia sedang mengarahkan tangan kepada Sharlean dan menggumamkan sesuatu, "Fire Ball."

Sharlean segera mengangkat tongkatnya dan berkonsentrasi kepada bola api yang mengarah padanya. "Safety Wall!" katanya. Seberkas cahaya menghalangi pandangannya dan mencegah bola api itu mengenai tubuhnya. "Soul Strike!" kata Sharlean menggunakan sihir telekinesis untuk membalas serangan instrukturnya.

"Kau lulus. Namun kau masih memerlukan banyak latihan," kata sang instruktur. Sharlean mengangguk. "Sekarang akan kuberitahu sesuatu yang sangat penting. Saat ini Geffen sedang diserang oleh pasukan dari arah utara. Aku ingin kau melindungi kota sebagai Wizard yang sesungguhnya. Saat kau berhasil, kau akan mengerti arti sesungguhnya dari menjadi seorang Wizard. Kau juga akan mengerti tentang Lord of Vermillion," kata sang instruktur. "Lord of Vermillion? Bukankah itu sihir terdahsyat yang dapat digunakan oleh seorang Wizard?" kata Sharlean. Sang instruktur menggeleng. "Lord of Vermillion bukanlah sekedar sihir, tetapi juga pengetahuan. Ingat bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terbatas," kata sang instruktur. "Aku tak mengerti," kata Sharlean. "Vermillion...warna merah yang melambangkan kehancuran. Kau akan mengerti saat kau bisa menggunakan sihir itu dengan baik," kata sang instruktur. "Tapi itu bukan sihir terkuat kan? Masih ada Heart of Oblivion milik Ardelle!" kata Sharlean. "Ya. Berbeda dengan Lord of Vermillion yang menggunakan warna kemerahan, Vermillion, untuk melambangkan kehancuran, Heart of Oblivion adalah kehancuran itu sendiri," kata sang instruktur. "Sekarang pergilah, pertahankan kota darinya," katanya lagi. "Nya?" kata Sharlean. "Odin," jawab sang instruktur.

Sebelum Sharlean dapat bertanya lebih lanjut, sang instruktur segera menyihir kostumnya menjadi seorang Wizard dan segera mengajaknya keluar. Ia memutuskan untuk tidak bertanya tentang Odin.

Ia melihat Hansen sedang bertempur dengan beberapa ekor monster yang tampak cukup kuat. "Hydra," kata sang instruktur. "Aku akan membantunya!" kata Sharlean. Ia berlari menuju monster Hydra yang sedang dilawan oleh Hansen dan menyerangnya dengan menggunakan Lightning Bolt. Kemudian, ia mengarahkan tongkatnya sekali lagi dan berkonsentrasi. "Jupitel Thunder!" katanya. Sebuah sihir yang tampak seperti bola energi listrik mengenai tubuh Hydra dan mendorongnya sambil menaymbar dengan menggunakan unsur petir. "Bagus," kata Hansen sambil berlari mendekati Hydra. Ia segera melayangkan sebuah pukulan terfokus ke arah Hydra dan mengenai bagian perutnya. "Ashura Strike!!"

Sang Hydra pun terjatuh dan tersungkur di tanah. Hansen segera menuju ke arah Hydra lainnya. Sharlean juga mengikutinya dan terus menggunakan Jupitel Thunder untuk menyerang Hydra yang mendekat. "Kalau begini terus, takkan ada habisnya!!" kata Hansen. "Minggir! Meteor Storm!!" teriak Sharlean. Beberapa bola api yang tampak seperti meteor berjatuhan dari langit dan meledakkan beberapa Hydra yang berada di sekitar mereka. "Wow...," kata Hansen takjub. Hansen segera mengambil inisiatif untuk memukul Hydra yang sedang terdiam selama tiga kali dan dilanjutkan dengan empat pukulan lainnya. Kemudian, Hansen segera memfokuskan serangan pada tangannya. Tubuhnya dikelilingi oleh energi yang terus meningkat. "Way of the Dragon!" katanya sambil menggunakan pukulan keras yang membuat Hydra itu terpukul mundur dan terpelanting ke tanah.

"Kita harus habisi pemimpinnya," kata Hansen. "Tapi...kita takkan bisa menghadapi Odin!!" kata Sharlean. "Pikirkanlah baik-baik...tak mungkin Odin menyerang sendiri ke tempat ini. Daripada ke sini, ia lebih baik menyerang tempat lain yang lebih berpengaruh," kata Hansen. "Ya, seperti Prontera, misalnya...," kata Sharlean.

Mereka melihat seserang yang berpakaian Gunslinger mendekati mereka sambil tersenyum puas. Orang itu bukan dari Geffen, pikir Sharlean. "Valkyrie," kata Hansen. Sang Gunslinger tertawa. "Odin mengirimkan Valkyrie-nya untuk menghadapi kami??" kata Hansen. Sang Gunslinger terus menatap mereka. "Kalian bukanlah lawan yang sebanding bagi Odin sang penguasa Valhalla dan Asgard," kata sang Gunslinger. Ia mengarahkan kedua pistolnya kepaa Sharlean dan menembaknya berkali-kali. "Safety Wall!!" kata Sharlean. Ia berhasil menahan beberapa serangan berikutnya, namun serangan pertamanya berhasil mengenai tubuh Sharlean dan menyebabkan luka yang cukup dalam. Hansen segera berlari ke arah sang Gunslinger dan memukulnya, namun serangannya berhasil dihindari dan ia terkena tembakan sang Gunslinger. "Kau lumayan...siapa namamu?" kata sang Gunslinger. "Hansen. Kau sendiri?" tanya Hansen. "Arsean sang Gunslinger," jawabnya. "Bagus, setelah tahu namamu, aku dapat menghabisimu tanpa keraguan!!" kata Hansen. "Seorang manusia ingin mengalahkan Valkyrie? Jangan mimpi...," katanya. Ia segera menembak lengan Hansen yang sedang berlari ke arahnya.

Sharlean menahan rasa sakit di bahu kirinya. Ia berusaha berdiri dan menggunakan tongkatnya untuk membantunya berjalan. Ia melihat Arsean mengarahkan pistolnya ke wajahnya. "Sekarang, matilah!" katanya. Seketika itu, Sharlean merasakan tanah yang diinjaknya membeku dan berubah menjadi permukaan es. Tanpa pikir panjang, Sharlean segera menggunakan sihir Water Ball, sihir yang menyerap kekuatan air dan es untuk menghasilkan tekanan, kepada Arsean yang mengakibatkan beberapa bola energi air menghajar tubuhnya sehingga pistolnya terjatuh. "Siapa yang...?" kata Sharlean. Ia melihat Carish sedang berdiri di belakangnya, sudah memakai kostum seorang Sage. "Aku mendengar bahwa Geffen diserang oleh pasukan Odin, jadi kurasa aku harus ke sini untuk membantu," kata Carish sambil tersenyum. Sharlean menghela napas. "Tumben kau bisa berinisiatif...," katanya sambil tersenyum jahil. Carish melihat Arsean telah mengambil pistolnya dan mengarahkannya kepada Sharlean. "Awas!! Earth Spike!" teriaknya. Sebongkah batu berbentuk seperti stalaktit muncul dari dalam tanah dan mengenai Arsean. Ia segera melompat mundur dan terus menembak. "Safety Wall!!" kata Sharlean menggunakan sihir pelindungnya. "Kalian semua akan kuhabisi...atas perintah Odin!!" kata Arsean dengan wajah marah.

Jumat, Desember 05, 2008

RO Special Images

Eh, gw mo coba tampilin beberapa character dari cerita RO Fanfic gw nih. Emang gak gitu bagus-bagus amat sih, tapi paling gak lumayan lah ada gambarnya sedikit sekalian biar nggak bosen ngeliatin tulisan mulu...^^ Nih...Gw tampilin character yang udah muncul dulu aja yah...dari smua yang di sini, masih ada 1 hero lagi yang bakal tampil...sabar dulu. Sekedar info, gmbar2 di bawah ini tuh smua character utama yang udah jadi Job 3 yah, jadi jangan bingung kalo liat koq kayaknya aneh gtu...These are JOB 3...^^

Jade:





Cherlia:




Jarred:




Carish:




Sharlean:




Cyriel:




Hansen:



Darlen:



Nah, paling gak sekarang udah bisa dibayangin character nya kurang lbih kyk apa...hehehe. Jadi kan lebih terasa ceritanya...Btw, ksh komentar donk, sepi nih gak ada comment sama skali...^^.

N.B. Buat S, C, n D:
Gw bikin char cape nih, jgn protes soal hair style n hair colornya dulu yee...hahaha...lol.

RO Fanfic 10

Cherlia berjalan menuju altar di tengah gereja. Seorang biarawan wanita berdiri di depan meja altar. Wanita itu jangkung dan terlihat cukup tua. Ia memegang sebuah kalung Rosary yang berwarna kebiruan. "Apakah kau siap?" tanya wanita biarawan itu. Cherlia mengangguk. Ia mengepalkan tangannya yang berkeringat. "Aku siap...," katanya. Cherlia mengikuti biarawan itu menuju sebuah pintu gerbang besar. "Di balik pintu ini menanti sebuah cobaan yang harus kau lalui," kata sang biarawan. Cherlia mendorong pintu itu perlahan-lahan dan melihat sebuah daerah yang gelap di balik pintu. "Tempat apa ini?" tanyanya sambil melihat ke belakang. Namun, tak ada yang menjawab. Sang biarawan telah menghilang bersama dengan bangunan gerejanya. Cherlia menghela napas. "Yah, no turning back...," katanya pada diri sendiri.

Ia berjalan melalui hutan yang gelap yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang entah apa namanya. Ia terus melihat sekeliling berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mengikutinya. Beberapa lama ia berjalan, ia melihat beberap makhluk yang berbentuk seperti mayat hidup. "Undead," pikirnya. Ia segera mendekati salah satu makhluk itu dan mengarahkan kedua telapak tangannya pada mereka. "Holy Light!" katanya. Beberapa makhluk sejenis lainnya mendekati Cherlia secara perlahan. "Signum Crucis!!" katanya, menggunakan sihir suci untuk mengurangi kemampuan pertahanan fisik sang monster. "Pneuma!" katanya, menggunakan sihir kepada dirinya sendiri. Ia merasakan kemampuannya meningkat pesat. "Holy Light!!" katanya lagi sambil mengarahkan tangan kepada monster di hadapannya. Ia terus berjalan sambil menggunakan sihir Ruwach untuk menghajar makhluk-makhluk di sekitarnya. Namun, ia mulai menyadari bahwa tak ada gunanya terus menghabisi mereka karena mereka akan terus berdatangan. "Increase Agility!!" katanya. Kakinya terasa begitu ringan dan ia dapat bergerak lebih cepat. Cherlia segera berlari menuju gerbang hitam yang berada beberapa meter di depannya dan segera melompat memasuki sebuah portal yang tampak seperti Warp Portal miliknya.

Perlahan-lahan, Cherlia membuka kelopak matanya. Ia dikelilingi oleh beberapa makhluk yang tampak transparan dan keputihan. "Di mana ini?" katanya. "Alam kematian," kata salah satu roh di sampingnya. "Apa kau ingin kembali...? Kau tak perlu menderita...," kata roh lainnya. "Bukan urusanmu," kata Cherlia. "Jika kau ingin kembali, gunakanlah ini," kata salah satu roh lainnya sambil meletakkan sebuah Holy Water di sebelah Cherlia. "Air suci ini akan menyucikan semua kejahatan di sekitarmu. Kau tak perlu melakukan ini sendirian, bukan?" katanya. "Diam...," kata Cherlia. Ia berusaha untuk tak mendengar perkataan roh-roh di sekitarnya. "Kalian hanyalah arwah orang mati...," kata Cherlia. "Bukankah kau ingin hidup...? Bukankah kau tak perlu penderitaan seperti ini...?" tanya roh di sebelah kirinya. "Ya, aku ingin hidup, tapi bukan berarti aku harus menghindari penderitaan...," kata Cherlia. Ia mengembalikan Holy Water di sebelahnya. "Aku tak bisa menggunakan ini," katanya. "Kau ingin terus bersama teman-temanmu, bukan? Ataukah kau lebih memilih mengambil jalan kematian seperti yang dilakukan Ardelle...?" kata sang roh. "Aku ingin bersama teman-temanku, tapi jika aku harus berkorban bagi mereka, aku akan melakukannya. Aku yakin Ardelle pasti melakukan semua ini demi kami semua!" kata Cherlia. Sebuah cahaya memancar dari dirinya dan sesaat kemudian, ia menyadari bahwa ia telah kembali ke depan altar tempat sang biarawan berdiri.

"Cherlia, anakku, apa kau yakin kau dapat menempuh jalan yang kau pilih ini?" tanya sang biarawan wanita. Cherlia mengangguk pasti. "Baiklah, aku dapat melihatnya di hatimu. Kau layak untuk menerima pemberkatn sebagai seorang Priest yang sesungguhnya. Dengan ini, kau harus bersumpah bahwa kau akan mmbantu sesama dalam kesulitan apapun," kata sang biarawan. "Ya, aku berjanji," kata Cherlia. Sang biarawan memberikan sebuah buku Bible berwarna hitam kebiruan ke tangan Cherlia. "May God bless you," katanya sambil meletakkan tanganya di kepala Cherlia. Cherlia memejamkan matanya dan merasakan kekuatannya meluap. Kekuatan suci di dalam dirinya meluap melebihi apapun yang penah ia rasakan.

Cherlia merasakan tubuhnya terbalut oleh pakaian seorang Priest yang berwarna ungu tua. Di bagian tengah bajunya terdapat sebuah simbol salib tipis yang begitu elegan. Ia merasakan rok panjang menutupi kakinya hingga hampir menyentuh lantai. Ia menggenggam Bible miliknya dan memberi hormat kepada sang biarawan wanita. "Bawalah berkat kepada sesamamu," kata sang biarawan sebelum Cherlia meninggalkan gereja. Ia melihat Jade berdiri di depan pintu gerbang gereja sambil mengenakan kostum Crusader-nya. Cherlia hanya tersenyum kepadanya. "Siap berangkat?" tanya Jade. "Ke?" tanya Cherlia. "Niflheim, kota orang mati. Jarred akan menunggu kita di sana," kata Jade. Cherlia mengangguk. "Niflheim dalah kota kegelapan. Kurasa kita takkan mendapat banyak kesulitan dengan kemampuan kita yang sekarang," kata Jade. "Yeah," jawab Cherlia.

***

Sementara itu, Sharlean sedang memasuki kota Geffen. Ia teringat kembali kata-kata Jarred sebelum memasuki kota. "Kami akan menuju ke Juno dan membantu Carish menjadi seorang Sage. Setelah kau selesai, pergilah ke Niflheim. Kurasa Jade dan Cherlia akan menunggumu di sana," kata Jarred. Sekarang, Sharlean benar-benar sendirian. Ia merasa cukup asing berada di kota ini meskipun kota Geffen adalah kota para penyihir yang cukup dikenal. Ia melihat menara yang cukup tinggi di tengah kota Geffen yang membuatnya teringat dengan menara di Midgard Academy. "Saatnya berangkat...," katanya pada diri sendiri.

Ia berdiri di depan menara Geffen dan membuka pintunya perlahan-lahan. Di dalamnya, bukan hanya para Mage yang menunggu, tetapi juga para Class lainnya seperti Blacksmith, Whitesmith, bahkan Crusader dan masih banyak lagi. Entah kenapa, hal ini disebabkan oleh beberapa orang pedagang yang lebih memilih berdagang di dalam menara. Sharlean tiba-tiba merasakan seseorang merogoh kantong celananya. "Maling!!" katanya sambil berusaha menangkap tangan orang itu. Ia gagal menangkapnya dan ia hanya melihat Thief itu berlari menuju lantai atas. "Hey!! Tunggu! Jangan lari!!" kata Sharlean. Ia mengejar sang Thief menuju lantai dua dan berusaha melihat sekeliling. Sang Thief sedang tersenyum ke arahnya sambil mengeluarkan Dagger miliknya. "Kau mau cari masalah denganku?" kata sang Thief. "Ya, siapa takut!" kata Sharlean sambil mengangkat tongkatnya. "Thunder Storm!!" teriaknya. Sambaran kilat gagal mengenai sang Thief, namun seseorang berhasil menahan gerakan sang Thief. Sharlean melihat seorang Monk yang sedang menggenggam bahu sang Thief. Monk itu segera memukul perut sang Thief dan membuatny terjatuh ke lantai. "Beres!" katanya. "Terima kasih," kata Sharlean. "Sama-sama. Kau harus lebih berhati-hati di daerah sini. Belakangan ini semakin banyak Thief dan Stalker jahat yang berkeliaran," kata sang Monk. "Ya, aku mengerti. Ngomong-ngomong, namaku Sharlean. Kau?" katanya. Sang Monk membuka kerudung yang menutupi kepalanya. "Hansen. Senang bertemu denganmu," katanya.

Hansen menawarkan diri untuk membantu Sharlean mencapai lantai atas. Menurutnya, sangat tidak aman menaiki menara sendirian pada saat-saat seperti itu. "Dulu Geffen tidak seperti ini. Entah kenapa, para Thief mulai mencari mangsa di daerah ini. Memang tidak semua Thief bermaksud jahat, tapi kita harus tetap waspada," kata Hansen. Sharlean tertawa melihat Hansen berbicara dengan nada sangat serius seperti sedang membicarakan rahasia negara. "Yah, pokoknya hati-hati," katanya. "Apa kau dari Midgard Academy?" tanya Hansen tiba-tiba. Sharlean mengangguk dengan wajah penasaran. "Dulu aku juga belajar di tempat itu, tapi aku pindah ke sini tepat satu hari setelah menjadi Monk," kata Hansen. Mereka terus berjalan melalui banyak anak tangga. "Midgard Academy sudah tidak ada lagi," kata Sharlean dengan nada sedih. Hansen menatapnya. Sharlean yang segera mengerti maksud tatapannya itu segera menjelaskan tentang apa yang terjadi di Prontera beberapa hari yang lalu. "Ardelle mengorbankan dirinya dengn menggunakan sihir terbesar," katanya. "Apa dia masih hidup?" tanya Hansen. "Aku tidak tahu. Kemungkinan besar ia tewas dalam ledakan itu," kata Sharlean dengan wajah sedih.

"Nah, kita sudah sampai di lantai paling atas. Kau siap?" tanya Hansen. "Ya, terima kasih," kata Sharlean. "Oke, aku akan menunggu di sini. Cepat temui petugas Wizard di sana," kata Hansen sambil menunjuk seorang petugas yang tampak berwibawa. Sharlean mengangguk dan tersenyum.